طلب الأحسان للأتباع الذي هو مأمور به[5]
“Menuntut sesuatu yang lebih baik, demi mengikuti sesuatu yang
diperintahkan”
Definisi
itulah yang nantinya mempengaruhi terminologi istihsan dalam pandangan
ulama hanafiyyah.
Sedangkan menurut makna terminlogi, beberapa ulama memberikan pengertian
mereka terhadap istihsan, diantaranya dari madzhab Hanafi, Imam Al-Karkhi (w:340 H)
mengatakan :
الاستحسان هو العدول في مسألة عن مثل
ما حكم به في نظائرها إلى خلافه لوجه هو أقوى[6]
“Istihsan adalah meninggalkan suatu hukum terhadap suatu
permasalahan, yang hukum tersebut didasarkan pada hukum pada permasalahan yang
mirip (Qiyas), kepada hukum yang berbeda dengan
(argumentasi) yang lebih kuat”
Pengertian
diatas adalah pengertian yang dinukil al-Amidi (w: 631 H), namun terjadi
perbedaan redaksi terhadap apa yang dinukil didalam Kasyf al-Asrar,
namun hal ini tidak mempengaruhi makna dari definisi yang dikemukan imam
al-Karkhi[7].
Al-Amidi mengkritisi definisi diatas
dikarenakan menurutnya bentuk dari definisi tersebut masih terlalu umum,
dikarenakan tidak adanya batasan, terhadap meninggalkan suatu hukum dikarenakan
hukum tersebut ‘am dengan hukum yang ‘khas, begitu juga halnya
dengan meninggalkan hukum mansukh dengan hukum nasikh[8].
Kritikan diatas harus kita telaah kembali,
mengingat al-Karkhi menyebutkan didalam definisinya (عن مثل ما حكم به في نظائرها)
yang mengisyaratkan bahwa pada dasarnya didalam madzhab Hanafi, istihsan merupakan
meninggalkan suatu hukum yang disandarkan kepada qiyas kepada hukum yang
mempunyai sandaran argumentasi yang lebih kuat, yang dalam hal ini al-Karkhi
menyebutkan (خلافه لوجه هو أقوى).
Namun, definisi yang dikemukakan al-Karkhi
diatas belumlah merangkul semua jenis istihsan, baik itu istihsan dengan
nash, ijma’, qiyas, ataupun al-‘urf.
Tetapi dengan menyatakan bahwa istihsan haruslah dengan dalil
yang lebih kuat, al-Karkhi sebenarnya sudah memberikan satu gambaran penting,
terlepas apakah dengan nash, ijma’ ataupun al-‘urf yang menjadikan sandaran istihsan maka
ia haruslah lebih kuat dari dalil hukum pertama.
Sedangkan
imam as-Sarkhasi mendefinisikan istihsan dengan membaginya menjadi dua
macam, yang mana hal ini didasarkan pada penggunaa kata istihsan oleh fuqaha,
kedua pengertian tersebut adalah, yang pertama :
العمل بالاجتهاد وغالب الرأي في تقدير
ما جعله الشرع موكولا إلى آرائنا[9]
“Menggunakan
ijtihad dan lebih mengedapankan akal dalam memberikan suatu ukuran yang telah
syari’at wakilkan kepada pendapat akal kita”
Definisi diatas tidak memberikan kita
makna istihsan yang telah menjadi perbincangan pada pembahasan diatas,
melainkan lebih kepada penerapan dalil ‘urf dalam beberapa kasus,
seperti pada firman Allah SWT:
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[10]
“Dan kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”
Menurut
as-Sarkhasi yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah apa yang
diketahui dengan menggunakan istihsan dengan mengedepankan pendapat akal,
walaupun sebenarnya hal ini lebih dekat kepada al-urf. Selanjutnya, ia
menyatakan bahwa jenis istihsan ini adalah yang tidak ditolak oleh para
ulama[11].
Sedangkan pengertian kedua menurut imam as-Sarkhasi adalah :
هو الدليل الذي يكون معارضا للقياس
الظاهر الذي تسبق إليه الأوهام قبل إنعام التأمل فيه، وبعد إنعام التأمل في حكم
الحادثة وأشباهها من الأصول يظهر أن الدليل الذي عارضه فوقه في القوة فإن العمل به
هو الواجب[12]
“Ia
adalah dalil yang menyelisih qiyas zhahir yang didahului oleh wahm sebelum
melakukan perenungan yang dalam, dan setelah dilakukan perenungan yang mendalam
pada hukum kejadian tersebut dan melihat kepada kejadian-kejadian yang serupa
dalam ushulnya, jelas bahwasanya dalil yang menyelisihi tersebut lebih kuat,
maka sesungguhnya mengamalkannya adalah wajib”
Definisi diatas menyatakan bahwasanya yang dimaksud dengan istihsan
adalah dalil yang bertentangan dengan qiyas. Jadi berbeda dari al-Karkhi,
definisi yang diberikan oleh as-Sarkhasi lebih jelas menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan istihsan adalah dalil kedua yang bertentangan dengan
dalil pertama yang berupa qiyas.
Sedangkan dalam madzhab Maliki, beberapa ulama
memberikan definisi terkait istihsan, diantaranya adalah Imam
Malik (w: 179 H), ia berkata :
هو العمل بأقوى الدليلين أو الأخذ
بمصلحة جزئية في مقابلة دليل كلي، فهو إذن تقديم الاستدلال المرسل على القياس[13]
“Mengamalkan dalil yang lebih kuat dari kedua dalil, atau
dengan lebih mengutamakan maslahah juz’iyah dari pada dalil umum, maka dari
pada itu ia adalah mengutamakan berdalil dengan maslahah mursalah atas qiyas”
Terlihat dari definisi diatas bahwasanya yang
dimaksud dengan istihsan adalah mengamalkan dalil yang lebih kuat atas
qiyas, imam Malik memberikan gambaran, seperti apabila terjadi pertentangan
antara maslahah dan qiyas, maka diambilah maslahah
tersebut. Definisi diatas sejatinya lebih menekankan pengamalan dengan
maslahah, apabila terdapat pertentangan dengan qiyas.
Sedangkan dalam madzhab Hanbali, Qadhi
Ya’qub[14]
mengatakan bahwa istihsan merupakan madzhab imam Ahmad, karena
menurutnya yang dimaksud dengan istihsan adalah :
أن تترك حكما إلى حكم هو أولى منه[15]
“Meninggalkan suatu hukum kepada hukum yang lebih utama dari
pada hukum yang pertama”
Pengertian diatas sebenarnya tidak dapat
mewakili sebuah definisi, karena sifatnya yang tidak mani’ dan jami’,
tidak mani’ terhadap meninggalkan hukum yang telah ditakhsis,
atau yang telah dimansukh, dan tidak jami’ terhadap istihsan
yang menurut para ulama, seperti penjabaran diatas, merupakan meninggalkan
hukum yang disandarkan kepada qiyas, bukan yang terhadap hukum yang disandarkan
kepada nash.
Sedangkan Abu Husain al-Bashri al-Mu’tazili[16],
ia memberikan pengertian istihsan, menurutnya istihsan adalah :
هو ترك وجه من وجوه الاجتهاد غير شامل
شمول الألفاظ لوجه هو أقوى منه، وهو حكم الطارئ على الأول[17]
“Meninggal suatu dalil (wajh) dari dalil-dalil ijtihad, yang
tidak umum dalam redaksinya, dikarenakan dalil yang lebih kuat, yang mana dalil
tersebut diketahui kemudian atas dalil yang pertama”
Yang
dimaksud (شامل
شمول الألفاظ) adalah dalil ‘am, yang mana dengan
dimunculkannya redaksi seperti itu menolak masuknya takhsis ‘am sebagai istihsan,
tetapi tidak mencegah masuknya nasikh dan mansukh. Begitu juga
bahwasanya redaksi definisi diatas tidak menyebutkan bahwa istihsan
adalah meninggalkan qiyas seperti yang dijelaskan oleh al-Karkhi, tetapi
ia terlihat lebih umum dengan pengecualian takhsis ‘am.
Dari beberapa uraian diatas tentang terminologi
istihsan menurut para ulama, penulis lebih condong kepada definisi yang
dinyatakan oleh imam al-Karkhi terhadap istihsan. Namun, penulis melihat
bahwa, definisi yang lebih mudah dipahami adalah definisi yang dinukil oleh
Abdul Wahab Khalaf yang beliau nisbahkan kepada Ushuliyyiin, definisi
tersebut berbunyi :
عدول المجتهد عن مقتضى قياس جلي إلى
مقتضى قياس خفي، أو عن حكم كلي إلى حكم استثنائي لدليل انقدح في عقله رجح لديه هذا
العدول[18]
“Berpalingnya seorang mujtahid dari qiyas jail kepada qiyas
khafi, atau dari hukum kulli kepada hukum ististna’i, dikarenakan tertolaknya
argumentasi tersebut dari aqalnya, yang dengan demikian menguatlah menurutnya
proses istihsan ini”
Selain itu,
terdapat terminologi lain tentang istihsan yang menjadi sorotan imam
as-Syafi’i (w: 204 H), yaitu :
“Bahwasanya ia adalah apa yang dianggap baik
oleh seorang mujtahid dengan aqalnya dan apa yang condong dari pendapatnya”
Pengertian
diatas sama-sekali tidak memwakili apa yang para fuqaha maksudkan dengan
istihsan. Selain itu, ia juga bertentangan dengan ushul yang
mengharuskan seorang mujtahid menyandarkan ijtihadnya kepada dalil-dalil syar’i,
baik itu yang muttafaq ataupun mukhtalaf.
[1] Ibnu Manzhur, Lisan
al-‘Arab, ( Mesir: Dar al-Ma’arif), Juz 11, hal 877
[2] Ibrahim
Mustafa dkk, Mu’jam al-Wasith, ( Mesir : Dar al-Ma’arif, 1972 M)
Cet : 2, hal 195
[3] Muhammd bin
Ahmad, Ushul as-Sarkhasi, Tahqiq : Abdul Wafa, ( Bairut : Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993 M) Cet: 1, Juz 2, hal 200
[4] Ali bin
Muhammad, al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, (Riyadh : Dar as-Shami’i,
2003 M) Cet:1, juz 4, hal 191
[5] Muhammad bin
Ahmad, Loc.cit.
[6] Ali bin
Muhammad, Op.cit, hal 193
[7] Abdul Aziz bin
Ahmad, Kaysfu al-Asrar ‘an Ushul Fakhr al-Islam al-Bazdawi,
(Bairut : Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1308 H) Cet: 1, Juz 2, hal 1122
[8] Ali bin
Muhammad, Loc.cit.
[9] Muhammd bin
Ahmad, Loc.cit.
[10] Al-Baqarah :
233
[11] Muhammd bin
Ahmad, Loc.cit.
[12] Ibid
[13] Ibrahim bin
Musa, al-Muwafaqat, Tahqiq : Bakar bin Abdillah, (Kairo : Dar
Ibnu Affan), Juz 5, hal 194
[14] Ya’qub bin
Ibrahim bin Sathur al-Hanbali, dilahirkan 409 H dan meninggal 486 H. Lihat Thabaqat
al-Hanabilah 2/245
[15] Abdullah bin
Muhammad, Raudhah an-Nadzir, (Bairut : Dar Ihya at-Turats
al-‘Arabi, 2010 M) Cet : 1, hal 100
[16] Muhammad bin
Ali bin at-Thayib al-Bashri, penulis al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, meninggal di
Bagdad 436 H. Lihat Siyar ‘Alam an-Nubala, 17/587
[17] Muhammad bin
Ali, al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, Tahqiq :
Muhammad Hamidullah dkk, (Damaskus : Ma’had al-‘Ilmi Li al-Faransa Li
ad-Dirasat al-‘Arabiyyah, 1965 M) Cet : 1, Juz 2 hal 840
[18] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu al-Ushul al-Fiqh, (Mesir : Maktabah Da’wah Islamiyah) hal
87
[19] Ibrahim bin Musa,
al-‘Itisham, Tahqiq : Masyhur bin Hasan, (Riyadh : Maktabah at-Tauhid)
Juz 3, hal 59.
No comments:
Post a Comment