Thursday, February 23, 2017

ISTIHSAN SEBAGAI DALIL SYAR'I (DEFINISI) PART 1









Istihsan berasal dari bahasa arab dengan wazan (استفعال) yang merupakan bentuk masdhar dari kata kerja istahsana (استحسن), ia berasal dari kata (الحسن) yang merupakan kata sifat atas sesuatu yang baik[1]. Sedangkan istihsan sendiri secara bahasa bermakna menjadikan sesuatu dianggap baik ((عدّه حسنا[2] atau meyakini suatu kebaikan (يقول الرجل : استحسنت كذا، أي : اعتقدته حسنا[3])  Lebih jauh, istihsan juga dapat digunakan atas sesuatu yang disenangi oleh suatu individu atau kelompok, walaupun pada dasarnya hal itu adalah sesuatu yang buruk[4].




Selain itu, imam as-Sarkhasi (w: 490 H) juga memberikan pandangan berbeda terhadap definisi istihsan secara bahasa, ia berkata :
طلب الأحسان للأتباع الذي هو مأمور به[5]
Menuntut sesuatu yang lebih baik, demi mengikuti sesuatu yang diperintahkan”
       Definisi itulah yang nantinya mempengaruhi terminologi istihsan dalam pandangan ulama hanafiyyah. 


    Sedangkan menurut makna terminlogi, beberapa ulama memberikan pengertian mereka terhadap istihsan, diantaranya  dari madzhab Hanafi, Imam Al-Karkhi (w:340  H) mengatakan :
الاستحسان هو العدول في مسألة عن مثل ما حكم به في نظائرها إلى خلافه لوجه هو أقوى[6]
“Istihsan adalah meninggalkan suatu hukum terhadap suatu permasalahan, yang hukum tersebut didasarkan pada hukum pada permasalahan yang mirip (Qiyas), kepada hukum yang berbeda dengan (argumentasi) yang lebih kuat”
   Pengertian diatas adalah pengertian yang dinukil al-Amidi (w: 631 H), namun terjadi perbedaan redaksi terhadap apa yang dinukil didalam Kasyf al-Asrar, namun hal ini tidak mempengaruhi makna dari definisi yang dikemukan imam al-Karkhi[7].
Al-Amidi mengkritisi definisi diatas dikarenakan menurutnya bentuk dari definisi tersebut masih terlalu umum, dikarenakan tidak adanya batasan, terhadap meninggalkan suatu hukum dikarenakan hukum tersebut ‘am dengan hukum yang ‘khas, begitu juga halnya dengan meninggalkan hukum mansukh dengan hukum nasikh[8].
Kritikan diatas harus kita telaah kembali, mengingat al-Karkhi menyebutkan didalam definisinya (عن مثل ما حكم به في نظائرها) yang mengisyaratkan bahwa pada dasarnya didalam madzhab Hanafi, istihsan merupakan meninggalkan suatu hukum yang disandarkan kepada qiyas kepada hukum yang mempunyai sandaran argumentasi yang lebih kuat, yang dalam hal ini al-Karkhi menyebutkan (خلافه لوجه هو أقوى).
Namun, definisi yang dikemukakan al-Karkhi diatas belumlah merangkul semua jenis istihsan, baik itu istihsan dengan nash, ijma’, qiyas, ataupun al-‘urf.  Tetapi dengan menyatakan bahwa istihsan haruslah dengan dalil yang lebih kuat, al-Karkhi sebenarnya sudah memberikan satu gambaran penting, terlepas apakah dengan nash, ijma’ ataupun al-‘urf  yang menjadikan sandaran istihsan maka ia haruslah lebih kuat dari dalil hukum pertama.  
   Sedangkan imam as-Sarkhasi mendefinisikan istihsan dengan membaginya menjadi dua macam, yang mana hal ini didasarkan pada penggunaa kata istihsan oleh fuqaha, kedua pengertian tersebut adalah, yang pertama :
العمل بالاجتهاد وغالب الرأي في تقدير ما جعله الشرع موكولا إلى آرائنا[9]
Menggunakan ijtihad dan lebih mengedapankan akal dalam memberikan suatu ukuran yang telah syari’at wakilkan kepada pendapat akal kita”
       Definisi diatas tidak memberikan kita makna istihsan yang telah menjadi perbincangan pada pembahasan diatas, melainkan lebih kepada penerapan dalil ‘urf dalam beberapa kasus, seperti pada firman Allah SWT:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[10]
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”
       Menurut as-Sarkhasi yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah apa yang diketahui dengan menggunakan istihsan dengan mengedepankan pendapat akal, walaupun sebenarnya hal ini lebih dekat kepada al-urf. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa jenis istihsan ini adalah yang tidak ditolak oleh para ulama[11]. Sedangkan pengertian kedua menurut imam as-Sarkhasi adalah :
هو الدليل الذي يكون معارضا للقياس الظاهر الذي تسبق إليه الأوهام قبل إنعام التأمل فيه، وبعد إنعام التأمل في حكم الحادثة وأشباهها من الأصول يظهر أن الدليل الذي عارضه فوقه في القوة فإن العمل به هو الواجب[12]
Ia adalah dalil yang menyelisih qiyas zhahir yang didahului oleh wahm sebelum melakukan perenungan yang dalam, dan setelah dilakukan perenungan yang mendalam pada hukum kejadian tersebut dan melihat kepada kejadian-kejadian yang serupa dalam ushulnya, jelas bahwasanya dalil yang menyelisihi tersebut lebih kuat, maka sesungguhnya mengamalkannya adalah wajib”
Definisi diatas  menyatakan bahwasanya yang dimaksud dengan istihsan adalah dalil yang bertentangan dengan qiyas. Jadi berbeda dari al-Karkhi, definisi yang diberikan oleh as-Sarkhasi lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istihsan adalah dalil kedua yang bertentangan dengan dalil pertama yang berupa qiyas. 
Sedangkan dalam madzhab Maliki, beberapa ulama memberikan definisi terkait istihsan, diantaranya adalah Imam Malik (w: 179 H), ia berkata :
هو العمل بأقوى الدليلين أو الأخذ بمصلحة جزئية في مقابلة دليل كلي، فهو إذن تقديم الاستدلال المرسل على القياس[13]
Mengamalkan dalil yang lebih kuat dari kedua dalil, atau dengan lebih mengutamakan maslahah juz’iyah dari pada dalil umum, maka dari pada itu ia adalah mengutamakan berdalil dengan maslahah mursalah atas qiyas”
Terlihat dari definisi diatas bahwasanya yang dimaksud dengan istihsan adalah mengamalkan dalil yang lebih kuat atas qiyas, imam Malik memberikan gambaran, seperti apabila terjadi pertentangan antara maslahah dan qiyas, maka diambilah maslahah tersebut. Definisi diatas sejatinya lebih menekankan pengamalan dengan maslahah, apabila terdapat pertentangan dengan qiyas.
   Sedangkan dalam madzhab Hanbali, Qadhi Ya’qub[14] mengatakan bahwa istihsan merupakan madzhab imam Ahmad, karena menurutnya yang dimaksud dengan istihsan adalah :
أن تترك حكما إلى حكم هو أولى منه[15]
Meninggalkan suatu hukum kepada hukum yang lebih utama dari pada hukum yang pertama”
Pengertian diatas sebenarnya tidak dapat mewakili sebuah definisi, karena sifatnya yang tidak mani’ dan jami’, tidak mani’ terhadap meninggalkan hukum yang telah ditakhsis, atau yang telah dimansukh, dan tidak jami’ terhadap istihsan yang menurut para ulama, seperti penjabaran diatas, merupakan meninggalkan hukum yang disandarkan kepada qiyas, bukan yang terhadap hukum yang disandarkan kepada nash.
Sedangkan Abu Husain al-Bashri al-Mu’tazili[16], ia memberikan pengertian istihsan, menurutnya istihsan adalah :
هو ترك وجه من وجوه الاجتهاد غير شامل شمول الألفاظ لوجه هو أقوى منه، وهو حكم الطارئ على الأول[17]
Meninggal suatu dalil (wajh) dari dalil-dalil ijtihad, yang tidak umum dalam redaksinya, dikarenakan dalil yang lebih kuat, yang mana dalil tersebut diketahui kemudian atas dalil yang pertama”
   Yang dimaksud (شامل شمول الألفاظ) adalah dalil ‘am, yang mana dengan dimunculkannya redaksi seperti itu menolak masuknya takhsis ‘am sebagai istihsan, tetapi tidak mencegah masuknya nasikh dan mansukh. Begitu juga bahwasanya redaksi definisi diatas tidak menyebutkan bahwa istihsan adalah meninggalkan qiyas seperti yang dijelaskan oleh al-Karkhi, tetapi ia terlihat lebih umum dengan pengecualian takhsis ‘am.
Dari beberapa uraian diatas tentang terminologi istihsan menurut para ulama, penulis lebih condong kepada definisi yang dinyatakan oleh imam al-Karkhi terhadap istihsan. Namun, penulis melihat bahwa, definisi yang lebih mudah dipahami adalah definisi yang dinukil oleh Abdul Wahab Khalaf yang beliau nisbahkan kepada Ushuliyyiin, definisi tersebut berbunyi :
عدول المجتهد عن مقتضى قياس جلي إلى مقتضى قياس خفي، أو عن حكم كلي إلى حكم استثنائي لدليل انقدح في عقله رجح لديه هذا العدول[18]
“Berpalingnya seorang mujtahid dari qiyas jail kepada qiyas khafi, atau dari hukum kulli kepada hukum ististna’i, dikarenakan tertolaknya argumentasi tersebut dari aqalnya, yang dengan demikian menguatlah menurutnya proses istihsan ini”
Selain itu, terdapat terminologi lain tentang istihsan yang menjadi sorotan imam as-Syafi’i (w: 204 H), yaitu :
أنه ما يستحسنه المجتهد بعقله ويميل إليه برأيه [19]
Bahwasanya ia adalah apa yang dianggap baik oleh seorang mujtahid dengan aqalnya dan apa yang condong dari pendapatnya”
       Pengertian diatas sama-sekali tidak memwakili apa yang para fuqaha maksudkan dengan istihsan. Selain itu, ia juga bertentangan dengan ushul yang mengharuskan seorang mujtahid menyandarkan ijtihadnya kepada dalil-dalil syar’i, baik itu yang muttafaq ataupun mukhtalaf
 


[1] Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, ( Mesir: Dar al-Ma’arif), Juz 11, hal 877
[2] Ibrahim Mustafa dkk, Mu’jam al-Wasith, ( Mesir : Dar al-Ma’arif, 1972 M) Cet : 2, hal 195
[3] Muhammd bin Ahmad, Ushul as-Sarkhasi, Tahqiq : Abdul Wafa, ( Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993 M) Cet: 1, Juz 2, hal 200
[4] Ali bin Muhammad, al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, (Riyadh : Dar as-Shami’i, 2003 M) Cet:1, juz 4, hal 191
[5] Muhammad bin Ahmad, Loc.cit.
[6] Ali bin Muhammad, Op.cit, hal 193
[7] Abdul Aziz bin Ahmad, Kaysfu al-Asrar ‘an Ushul Fakhr al-Islam al-Bazdawi, (Bairut : Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1308 H) Cet: 1, Juz 2, hal 1122
[8] Ali bin Muhammad, Loc.cit.
[9] Muhammd bin Ahmad, Loc.cit.
[10] Al-Baqarah : 233
[11] Muhammd bin Ahmad, Loc.cit.
[12] Ibid
[13] Ibrahim bin Musa, al-Muwafaqat, Tahqiq : Bakar bin Abdillah, (Kairo : Dar Ibnu Affan), Juz 5, hal 194
[14] Ya’qub bin Ibrahim bin Sathur al-Hanbali, dilahirkan 409 H dan meninggal 486 H. Lihat Thabaqat al-Hanabilah 2/245
[15] Abdullah bin Muhammad, Raudhah an-Nadzir, (Bairut : Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, 2010 M) Cet : 1, hal 100
[16] Muhammad bin Ali bin at-Thayib al-Bashri, penulis al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, meninggal di Bagdad 436 H. Lihat Siyar ‘Alam an-Nubala, 17/587
[17] Muhammad bin Ali, al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, Tahqiq : Muhammad Hamidullah dkk, (Damaskus : Ma’had al-‘Ilmi Li al-Faransa Li ad-Dirasat al-‘Arabiyyah, 1965 M) Cet : 1, Juz 2 hal 840
[18] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu al-Ushul al-Fiqh, (Mesir : Maktabah Da’wah Islamiyah) hal 87
[19] Ibrahim bin Musa, al-‘Itisham, Tahqiq : Masyhur bin Hasan, (Riyadh : Maktabah at-Tauhid) Juz 3, hal 59.

No comments: