Menurut standar
syari’ah AAOIFI, gharar adalah sifat dalam mu’amalah yang
menyebabkan sebagian rukunnya tidak pasti (mastur al-‘aqibah), dan
secara operasional, gharar bisa diartikan : kedua belah pihak dalam
transaksi tidak memiliki kepastian terhadap barang yang menjadi objek
transaksi, baik terkait kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang
sehingga salah satu dari kedua pihak dirugikan.
Praktek gharar
dilarang dalam syari’at Islam, sesuai dengan hadist baginda Rasulullah SAW yang
berbunyi :
نهى
رسول الله – صلى الله عليه وسلم- عن الغرر
Artinya : “Rasulullah SAW
melarang dari (jual-beli yang mengandung) gharar
Tujuan
dari dilarangnya gharar adalah agar tidak ada satu pihak pun yang
menjalankan kontrak bisnis mengalami kezholiman dikarenakan terdapat
ketidakpastian, baik itu gharar dalam shigat aqad, objek aqad
ataupun syarat aqad.
1) Gharar dalam shigat
akad.
a) Menggabungkan dua transaksi dalam satu transaksi (al-jam’u baina
bai’ataini fi bai’ah), misalkan, menjual barang dengan harga seribu secara
tunai dan dua ribu apabila tidak tunai, tanpa ditentukan salah satu dari dua
pilihan tersebut.
b) Aqad jual beli atas objek yang tidak
pasti, seperti ba’i al-hashah, yakni menjual sesuatu dengan cara
melempar krikil ke objek yang terkena lemparan, maka itu yang akan dibeli.
2) Gharar
dalam objek akad
a) Gharar yang
terjadi pada barang yang diperjualbelikan (al-mutsman), seperti
ketidakjelasan pada bentuk maupun sifat barang yang diperjualbelikan,
ketidakjelasan pada barang mana sebenarnya yang diperjualbelikan, atau
ketidakjelasan pada kuantitas barang yang diperjualbelikan.
b) Gharar
yang terjadi pada harga dari objek aqad (at-tsaman), seperti menjual
barang tanpa disebutkan harganya, membeli sesuatu dengan uang yang ada disaku
dan tidak diketahui oleh pihak penjual, atau membeli sesuatu dengan mata uang
tertentu yang tidak ditentukan.
c) Gharar yang
terjadi pada waktu penyerahan yang tidak disepakati ketika akad, kontrak
seperti ini tidaklah sah. Seperti Rasulullah SAW melarang jual beli hablil
habalah, maksudnya menunda pembayaran hingga unta melahirkan dan anak yang
dilahirkan melahirkan.
d) Gharar
akibat barang yang diperjualbelikan tidak ada. Maksudnya adalah menjual sesuatu
yang sejatinya tidak dimilikinya pada waktu akad, tetapi penjual kemudian
membelinya dari pasar untuk dijual kepada pembeli tersebut. Jual beli objek
akad seperti ini tidaklah sah kecuali dengan menggunakan akad salam ataupun ishtisna.
Sesuai dengan hadist :
نهى النبي – صلى الله عليه وسلم – أن يبيع الإنسان ما
ليس عنده
Artinya : “Rasulullah
SAW melarang setiap orang menjual sesuatu yang belum dimilikinya”
Hal ini senada
dengan kaidah fikih :
أن كل معدوم مجهول الوجود في المستقبل لا يجوز بيعه
“Setiap
barang yang tidak ada pada masa yang akan datang itu tidak boleh
diperjualbelikan”
Adapun kriteria gharar, atau
yang menentukan suatu transaksi dianggap tidak sah dikarenakan mengandung unsur
gharar antara lain adalah :
1) Gharar tersebut
terjadi pada akad-akad mu’awadhat (kontrak bisnis), seperti jual beli, ijarah,
syirkah dan tidak terjadi pada akad-akad tabarru’at (kontrak
sosial), seperti hadiah, sedekah, pinjaman, dsb.
2) Termasuk
katagori gharar berat, yaitu gharar yang merugikan pelaku akad
dan berpotensi menimbulkan perselisihan, selain itu, gharar pada
lazimnya dapat dengan mudah dihindari. Sedangkan gharar ringan adalah gharar
yang tidak bisa dihindarkan dalam setiap akad dan dimaklumi menurut tradisi
pembisnis, sehingga pelaku akad tidak dirugikan dengan gharar tersebut.
3) Gharar terjadi
pada objek akadnya, bukan pelengkapnya. Seperti jual-beli buah yang belum
tampak buahnya. Jika buah-buahan yang menjadi objek akadnya maka jual-beli ini
dianggap tidak sah dikarenakan adanya unsur gharar, tetapi apabila objek
akadnya adalah pohon, maka jual-beli ini dianggap sah, karena pohon adalah
objek akadnya sedangkan buah-buahan hanyalah pelengkapnya. Sesuai dengan kaidah
fiqhiyyah yang berbunyi :
يغتفر في التوابع ما لا يغتفر في غيرها
“Ditolelir
segala hal yang mengikuti (pelengkap), pada apa yang tidak ditolelir pada
selainnya”
4) Tidak ada
kebutuhan syar’i (hajat) pada akad yang ada unsur gharar
tersebut. Yang dimaksud dengan hajat adalah sebuah kondisi dimana setiap orang
diperkirakan mendapatkan kesulitan (masyaqqah) jika tidak melakukan
transaksi gharar tersebut, baik bersifat umum maupun khusus. Seperti
bolehnya menabung dibank konvensional ketika belum ada bank syari’ah. Hal ini
sesuai dengan kaidah fiqhiyyah :
الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة
“Kebutuhan itu
menempati kedudukan dharurat, (baik
kebutuhan tersebut bersifat) umum maupun khusus”
Praktek gharar dalam
transaksi bisnis modern antara lain terjadi pada asuransi konvensional, dimana
nasabah diwajibkan membayar sejumlah uang untuk mendapatkan jaminan, yang pada
dasarnya tidak dapat dipastikan kapan nasabah membutuhkan jaminan tersebut.
Jika dilihat dari penjelasan diatas, asuransi konvensional dapat dikatagorikan
sebagai gharar pada waktu penyerahan, atau dapat juga dimasukkan kepada gharar
dikarenakan barang yang diperjualbelikan tidak ada, hal ini tentunya jika tidak
ada klaim dari nasabah.
Adapun dalam bursa efek terdapat
beberapa macam jenis transaksi yang dapat dikatagorikan sebagai gharar
seperti yang dikemukan oleh DSN dalam fatwa No : 80/DSN-MUI/III/2011,
diantaranya :
1) Front
Running yaitu tindakan Anggota Bursa Efek yang melakukan
transaksi lebih dahulu atas suatu Efek tertentu, atas dasar adanya informasi
bahwa nasabahnya akan melakukan transaksi dalam volume besar atas Efek tersebut
yang diperkirakan mempengaruhi harga pasar, tujuannya untuk meraih keuntungan
atau mengurangi kerugian.
2) Misleading
information (Informasi Menyesatkan), yaitu membuat
pernyataan atau memberikan keterangan yang secara material tidak benar atau
menyesatkan sehingga mempengaruhi harga Efek di Bursa Efek.
3) Wash
sale (Perdagangan
semu yang tidak mengubah kepemilikan) yaitu transaksi yang
terjadi antara pihak pembeli dan penjual yang tidak menimbulkan perubahan
kepemilikan dan/atau manfaatnya (beneficiary of ownership) atas
transaksi saham tersebut. Tujuannya untuk membentuk harga naik, turun atau
tetap dengan memberi kesan seolah-olah harga terbentuk melalui transaksi yang
berkesan wajar. Selain itu juga untuk memberi kesan bahwa Efek tersebut aktif
diperdagangkan.
4) Pre-arrange trade yaitu transaksi yang terjadi melalui pemasangan order beli dan jual
pada rentang waktu yang hampir bersamaan yang terjadi karena adanya perjanjian
pembeli dan penjual sebelumnya. Tujuannya untuk membentuk harga (naik, turun
atau tetap) atau kepentingan lainnya baik di dalam maupun di luar bursa.
5) Short Selling (Jual kosong/ Ba’i al-Maksyufi ) Yaitu suatu cara yang
digunakan dalam penjualan saham yang belum dimiliki dengan harga tinggi dengan
harapan akan membeli kembali pada saat harga turun.
No comments:
Post a Comment