Friday, April 21, 2017

Riba (Keuntungan yang HARAM)



Kebanyakan masyarakat menganggap bisnis riba adalah bisnis renternir, anggapan ini saya anggap benar, karena memang bisnis rentenir adalah salah satu contoh bisnis ribawi, namun hal ini sangatlah sempit yang nantinya akan mengaburkan makna riba itu sendiri, sehingga wajar jika sebagian orang terheran-heran jika ada ustadz/ustadzah yang menyatakan bahwa bunga bank haram.
            Agar makna riba tidak sesempit yang dibayangkan orang pada umumnya, kita akan membagi riba menjadi dua macam, masing-masing dari keduanya memiliki definisi dan landasan hukum yang berbeda. Sebelumnya, pembagian riba hanya menjadi dua adalah pembagian yang saya ambil dari buku : Riba, Gharar dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syari’ah Analisis Fikih dan Ekonomi, karya Dr. Oni Sahroni, M.A dan Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P.
Pembagian riba menjadi hanya dua saja adalah pembagian yang sederhana dari pembagian yang selama ini kita dapatkan didalam kitab-kitab fikih klasik yang penuh dengan perdebatan. Berikut pembagian tersebut :

a)        Riba Qardh/Jahiliyah (Riba Dalam Pinjaman)
Riba Qardh adalah keuntungan yang terjadi pada transaksi utang-piutang yang tidak memenuhi kriteria keuntungan yang sah didalam Islam. Lantas, apakah kriteria tersebut ? Didalam agama kita ada dua kriteria keuntungan:
Pertama, keuntungan haruslah muncul bersama resiko (al-gunmu bil ghurmi), dan kedua, hasil usaha (keuntungan) muncul bersama biaya (al-kharaj bi ad-Dhoman). Maka transaksi yang semisal, rentenir, deposito, bunga bank, giro, KPB dll adalah transaksi yang mengakibatkan keuntungan pada salah satu pihak, dengan menanggungkan kewajiban pada pihak lain hanya dikarenakan dengan berjalannnya waktu. Maka hal ini tidak dibenarkan didalam Islam sesuai dengan dua kriteria diatas.
Lebih jelasnya, pada transaksi-transaksi yang terdapat unsur riba qardh al-gunmu (untung) muncul tanpa adanya al-ghurmu (resiko). Yang dimaksud resiko disini adalah resiko kerugian dalam bisnis pada umumnya, karena sejatinya tidak ada yang pasti didalam bisnis. Selain itu, resiko kerugian pada transaksi ribawi ini bisa dikatakan tidak ada, karena orang yang berhutang wajib mengembalikan uang yang ia pinjam, berikut dengan bunganya. Begitu juga al-Kharaj (untung) muncul tanpa adanya ad-Dhaman (Biaya), orang yang memberikan piutang lazimnya tidak mengeluarkan sepeserpun modal atas usahanya, karena uang yang ia pinjamkan akan dikembalikan berikut dengan bunga.
Riba  Qard juga identik dengan kezholiman pada salah satu pihak, karena sejatinya didalam bisnis tidak ada sesuatu yang bersifat pasti, namun pada riba qardh, salah satu pihak pasti mendapat keuntungan, sedangkan salah satunya pasti mendapatkan kerugian. Bahkan didalam bank konvensional kezholiman terjadi pada kedua belah pihak, dalam hal ini nasabah dan bank. Nasabah zholim kepada bank karena mengharuskan bank membayar bunga dengan jumlah tertentu, baik dalam tabungan ataupun deposito, sedangkan bank zholim kepada nasabah ketika nasabah memerlukan pinjaman, bank mewajibkan nasabah membayar hutangnya plus dengan bunga yang telah ditentukan.
Selain itu, didalam Islam uang bukanlah suatu komoditas yang boleh diperjual-belikan. Islam memandang uang haruslah menjadi alat tukar dalam sirkulasi barang dan jasa. Maksudnya adalah, Islam memandang setiap sen uang, merupakan nilai dari suatu barang, maka tidak diperbolehkan melakukan jual-beli uang yang lazim ditemukan pada transaksi riba qard. Dalil dari keharaman menjadikan uang sebagai komoditas adalah dalil dari diharamkannya riba buyu’.
Selanjutnya bagaimanakah al-Qur’an dan Ijma’ memandang riba qardh ? Perlu diketahui, bahwasanya semua ayat didalam al-Qur’an yang berbicara tentang riba, menurut penafsiran ulama semuanya berbicara tentang riba qard. Diantaranya : Q.S Al-Baqarah : 275 dan 278, Q.S Al-Imran : 130, sedangkan ayat yang paling keras menentang riba adalah ayat Q.S Al-Baqorah : 278 - 279 yang bunyinya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ  فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
                        Adapun ijma’, ulama telah konsensus bahwa riba qardh/jahiliyah diharamkan, sebagaiman kaidah yang berbunyi :
كل قرض جرى فيه نفعا فهو ربا
Artinya : “Setiap pinjaman yang memberikan tambahan manfaat (kepada kreditor) itu termasuk riba”
                        Dengan kuat dalil-dalil diatas, al-Qur’an dan ijma’, maka tidaklah berlebihan jika kita katakan bahwa pengharaman atas riba qardh adalah termasuk tsawabith dan qath’iyat (hal yang prinsipil dan fundamen) dalam agama Islam, hal ini sama dengan haramnya zina, hanya saja didalam Islam pelaku riba tidak dihukum dengan had seperti halnya zina, melainkan dengan ta’zir.
b)   Riba Buyu’ (Riba Dalam Jual Beli)
Riba buyu’ adalah riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang berbeda kualitas, atau kuantitasnya atau berbeda waktu penyerahannya pada barang-barang ribawi. Barang-barang ribawi tersebut adalah yang disebutkan didalam hadist riwayat imam Ahmad Rahimahullah, yang berbunyi :
عن عبادة بن الصامت أن النبي – صلى الله عليه وسلم- قال : ( الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبربالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلا بمثل، يدا بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد) رواه أحمد
Artinya : Dari ‘Ubadah bin Shamit R.A, bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda : (Penukaran) antara emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, korma dengan korma, garam dengan garam itu harus sama dan dibayar kontan. Jika berbeda (penukaran barang diatas, misal emas dengan perak) maka juallah barang tersebut sekehendak kamu sekalian dengan syarat dibayar kontan” (H.R Ahmad)
                Jika kita telaah hadist diatas maka kita dapat klasifikasikan keenam barang-barang ribawi diatas menjadi dua bagian menurut ‘illat (alasan hukum) nya masing-masing. Pertama, emas dan perak, keduanya memiliki ‘illat yang sama yaitu sebagai mata uang. Hal ini dianggap logis dikarenakan pada zaman kenabian emas dan perak merupakan mata uang yang berlaku, emas sebagai dinar sedangkan perak sebagai dirham. Dengan alasan ini pulalah MUI melalui fatwa No : 77/DSN-MUI/V/2010 menfatwakan bolehnya kredit emas dan perak, dikarenakan emas dan perak pada zaman sekarang merupakan komoditas, bukan sebagai alat tukar, karena ‘illat (alasan hukum) yang menjadikan haramnya kredit emas dan perak sudah tidak ada pada zaman sekarang. Melainkan sifat sebagai alat tukar sudah beralih dari emas dan perak kepada lembaran-lembaran uang, baik rupiah ataupun mata uang lainnya.
                        Kedua adalah, gandum, sya’ir, kurma dan garam. Keempat barang ini memiliki illat yang sama, yaitu sebagai makanan. Maka hal inilah yang menjadikan beras, sagu, dll sebagai barang ribawi, dikarenakan kesamaan ‘illat (alasan hukum).
                        Dari hadist diatas juga kita dapat menyimpulkan dua kaidah, yang dapat menentukan keharaman suatu transaksi jual-beli terhadap keenam barang tersebut. Dua kaidah tersebut adalah : (1) Jual beli barang-barang tersebut jika sejenis (emas dengan emas) haruslah kontan dengan kualitas dan kuantitas yang sama, jika tidak kontan maka dapat digolongkan menjadi riba nasi’ah, dan jika tidak terdapat kesamaan kualitas dan kuantitas maka dapat digolongkan sebagai riba fadhl. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW pada hadist diatas :

مثلا بمثل، يدا بيد
Artinya : “harus sama (kualitas dan kuantitas) dan dibayar kontan”
                        Sedangkan kaidah kedua adalah, jual-beli barang-barang ribawi diatas jika berbeda jenisnya, seperti emas dan perak haruslah kontan, kendati berbeda kuantitas dan kualitasnya. Hal inilah yang dimaksudkan didalam hadist diatas :
فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد
Artinya : “Jika berbeda (penukaran barang diatas, misal emas dengan perak) maka juallah barang tersebut sekehendak kamu sekalian dengan syarat dibayar kontan” (H.R Ahmad)
                        Maka, atas dasar inilah transaksi valuta asing dihalalkan oleh MUI melalui fatwa No : 28/DSN-MUI/III/2002, dengan dasar qiyas (analogi) pertukaran antara emas dengan perak, selain itu diperbolehkan juga mengambil margin dari pertukaran tersebut.
                        Diantara praktek riba buyu’ dalam dunia bisnis kontemporer adalah transaksi valuta asing yang tidak kontan, diantara transaksi-transaksi tersebut adalah :
(1) Forward, yaitu jual-beli valuta asing antara dua pihak dengan nilai yang ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang.
(2)  Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Adapun yang dimaksud dengan spot adalah : yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari (ِمَّما لاَ ُبَّد مِنْهُ) dan merupakan transaksi internasional.
(3) Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu.
                        Ketiga transaksi diatas diharamkan, dikarenakan terdapat riba nasi’ah didalamnya, yaitu terjadinya kesepakatan kontrak jual-beli valuta (aqad) tanpa adanya taqabud (kontan) pada saat terjadinya kontrak transaksi, selain itu terdapat juga unsur maisir (spekulasi) didalamnya.

No comments: