Kebanyakan masyarakat menganggap
bisnis riba adalah bisnis renternir, anggapan ini saya anggap benar, karena
memang bisnis rentenir adalah salah satu contoh bisnis ribawi, namun hal ini
sangatlah sempit yang nantinya akan mengaburkan makna riba itu sendiri,
sehingga wajar jika sebagian orang terheran-heran jika ada ustadz/ustadzah yang
menyatakan bahwa bunga bank haram.
Agar makna riba
tidak sesempit yang dibayangkan orang pada umumnya, kita akan membagi riba
menjadi dua macam, masing-masing dari keduanya memiliki definisi dan landasan
hukum yang berbeda. Sebelumnya, pembagian riba hanya menjadi dua adalah
pembagian yang saya ambil dari buku : Riba, Gharar dan Kaidah-Kaidah Ekonomi
Syari’ah Analisis Fikih dan Ekonomi, karya Dr. Oni Sahroni, M.A dan Ir.
Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P.
Pembagian riba menjadi hanya dua
saja adalah pembagian yang sederhana dari pembagian yang selama ini kita
dapatkan didalam kitab-kitab fikih klasik yang penuh dengan perdebatan. Berikut
pembagian tersebut :
a)
Riba Qardh/Jahiliyah (Riba Dalam Pinjaman)
Riba Qardh adalah keuntungan yang
terjadi pada transaksi utang-piutang yang tidak memenuhi kriteria keuntungan
yang sah didalam Islam. Lantas, apakah kriteria tersebut ? Didalam agama kita
ada dua kriteria keuntungan:
Pertama, keuntungan haruslah muncul
bersama resiko (al-gunmu bil ghurmi), dan kedua, hasil usaha
(keuntungan) muncul bersama biaya (al-kharaj bi ad-Dhoman). Maka
transaksi yang semisal, rentenir, deposito, bunga bank, giro, KPB dll adalah
transaksi yang mengakibatkan keuntungan pada salah satu pihak, dengan
menanggungkan kewajiban pada pihak lain hanya dikarenakan dengan berjalannnya
waktu. Maka hal ini tidak dibenarkan didalam Islam sesuai dengan dua kriteria
diatas.
Lebih jelasnya, pada
transaksi-transaksi yang terdapat unsur riba qardh al-gunmu (untung)
muncul tanpa adanya al-ghurmu (resiko). Yang dimaksud resiko disini
adalah resiko kerugian dalam bisnis pada umumnya, karena sejatinya tidak ada
yang pasti didalam bisnis. Selain itu, resiko kerugian pada transaksi ribawi
ini bisa dikatakan tidak ada, karena orang yang berhutang wajib mengembalikan
uang yang ia pinjam, berikut dengan bunganya. Begitu juga al-Kharaj (untung)
muncul tanpa adanya ad-Dhaman (Biaya), orang yang memberikan piutang
lazimnya tidak mengeluarkan sepeserpun modal atas usahanya, karena uang yang ia
pinjamkan akan dikembalikan berikut dengan bunga.
Riba
Qard juga identik dengan kezholiman pada salah satu pihak, karena
sejatinya didalam bisnis tidak ada sesuatu yang bersifat pasti, namun pada riba
qardh, salah satu pihak pasti mendapat keuntungan, sedangkan salah satunya
pasti mendapatkan kerugian. Bahkan didalam bank konvensional kezholiman terjadi
pada kedua belah pihak, dalam hal ini nasabah dan bank. Nasabah zholim kepada
bank karena mengharuskan bank membayar bunga dengan jumlah tertentu, baik dalam
tabungan ataupun deposito, sedangkan bank zholim kepada nasabah ketika nasabah
memerlukan pinjaman, bank mewajibkan nasabah membayar hutangnya plus dengan
bunga yang telah ditentukan.
Selain itu, didalam Islam uang
bukanlah suatu komoditas yang boleh diperjual-belikan. Islam memandang uang
haruslah menjadi alat tukar dalam sirkulasi barang dan jasa. Maksudnya adalah,
Islam memandang setiap sen uang, merupakan nilai dari suatu barang, maka tidak
diperbolehkan melakukan jual-beli uang yang lazim ditemukan pada transaksi riba
qard. Dalil dari keharaman menjadikan uang sebagai komoditas adalah dalil dari
diharamkannya riba buyu’.
Selanjutnya bagaimanakah al-Qur’an dan
Ijma’ memandang riba qardh ? Perlu diketahui, bahwasanya semua ayat didalam
al-Qur’an yang berbicara tentang riba, menurut penafsiran ulama semuanya
berbicara tentang riba qard. Diantaranya : Q.S Al-Baqarah : 275 dan 278, Q.S
Al-Imran : 130, sedangkan ayat yang paling keras menentang riba adalah ayat Q.S
Al-Baqorah : 278 - 279 yang bunyinya :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ فَإِنْ لَمْ
تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ
رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Artinya
:
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Adapun
ijma’, ulama telah konsensus bahwa riba qardh/jahiliyah diharamkan, sebagaiman
kaidah yang berbunyi :
كل
قرض جرى فيه نفعا فهو ربا
Artinya : “Setiap pinjaman yang memberikan tambahan manfaat (kepada
kreditor) itu termasuk riba”
Dengan
kuat dalil-dalil diatas, al-Qur’an dan ijma’, maka tidaklah berlebihan jika
kita katakan bahwa pengharaman atas riba qardh adalah termasuk tsawabith
dan qath’iyat (hal yang prinsipil dan fundamen) dalam agama Islam, hal
ini sama dengan haramnya zina, hanya saja didalam Islam pelaku riba tidak
dihukum dengan had seperti halnya zina, melainkan dengan ta’zir.
b)
Riba Buyu’ (Riba Dalam Jual Beli)
Riba buyu’ adalah riba yang timbul
akibat pertukaran barang sejenis yang berbeda kualitas, atau kuantitasnya atau
berbeda waktu penyerahannya pada barang-barang ribawi. Barang-barang ribawi
tersebut adalah yang disebutkan didalam hadist riwayat imam Ahmad Rahimahullah,
yang berbunyi :
عن
عبادة بن الصامت أن النبي – صلى الله عليه وسلم- قال : ( الذهب بالذهب، والفضة
بالفضة، والبربالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلا بمثل،
يدا بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد) رواه أحمد
Artinya : Dari ‘Ubadah bin Shamit R.A, bahwasanya Nabi Muhammad SAW
bersabda : (Penukaran) antara emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, korma dengan korma, garam dengan garam itu
harus sama dan dibayar kontan. Jika berbeda (penukaran barang diatas, misal emas
dengan perak) maka juallah barang tersebut sekehendak kamu sekalian dengan
syarat dibayar kontan” (H.R Ahmad)
Jika
kita telaah hadist diatas maka kita dapat klasifikasikan keenam barang-barang
ribawi diatas menjadi dua bagian menurut ‘illat (alasan hukum) nya
masing-masing. Pertama, emas dan perak, keduanya memiliki ‘illat yang
sama yaitu sebagai mata uang. Hal ini dianggap logis dikarenakan pada zaman
kenabian emas dan perak merupakan mata uang yang berlaku, emas sebagai dinar
sedangkan perak sebagai dirham. Dengan alasan ini pulalah MUI melalui fatwa No
: 77/DSN-MUI/V/2010 menfatwakan bolehnya kredit emas dan perak, dikarenakan
emas dan perak pada zaman sekarang merupakan komoditas, bukan sebagai alat
tukar, karena ‘illat (alasan hukum) yang menjadikan haramnya kredit emas
dan perak sudah tidak ada pada zaman sekarang. Melainkan sifat sebagai alat
tukar sudah beralih dari emas dan perak kepada lembaran-lembaran uang, baik
rupiah ataupun mata uang lainnya.
Kedua
adalah, gandum, sya’ir, kurma dan garam. Keempat barang ini memiliki illat yang
sama, yaitu sebagai makanan. Maka hal inilah yang menjadikan beras, sagu, dll
sebagai barang ribawi, dikarenakan kesamaan ‘illat (alasan hukum).
Dari
hadist diatas juga kita dapat menyimpulkan dua kaidah, yang dapat menentukan
keharaman suatu transaksi jual-beli terhadap keenam barang tersebut. Dua kaidah
tersebut adalah : (1) Jual beli barang-barang tersebut jika sejenis (emas
dengan emas) haruslah kontan dengan kualitas dan kuantitas yang sama, jika
tidak kontan maka dapat digolongkan menjadi riba nasi’ah, dan jika tidak
terdapat kesamaan kualitas dan kuantitas maka dapat digolongkan sebagai riba
fadhl. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW pada hadist diatas :
مثلا
بمثل، يدا بيد
Artinya : “harus sama (kualitas dan kuantitas) dan dibayar
kontan”
Sedangkan
kaidah kedua adalah, jual-beli barang-barang ribawi diatas jika berbeda
jenisnya, seperti emas dan perak haruslah kontan, kendati berbeda kuantitas dan
kualitasnya. Hal inilah yang dimaksudkan didalam hadist diatas :
فإذا
اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد
Artinya : “Jika berbeda (penukaran barang diatas, misal emas
dengan perak) maka juallah barang tersebut sekehendak kamu sekalian dengan
syarat dibayar kontan” (H.R Ahmad)
Maka,
atas dasar inilah transaksi valuta asing dihalalkan oleh MUI melalui fatwa No :
28/DSN-MUI/III/2002, dengan dasar qiyas (analogi) pertukaran antara emas dengan
perak, selain itu diperbolehkan juga mengambil margin dari pertukaran tersebut.
Diantara
praktek riba buyu’ dalam dunia bisnis kontemporer adalah transaksi valuta asing
yang tidak kontan, diantara transaksi-transaksi tersebut adalah :
(1) Forward, yaitu jual-beli valuta asing antara dua pihak
dengan nilai yang ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu
yang akan datang.
(2) Swap, yaitu suatu
kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan
dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Adapun yang dimaksud dengan spot adalah : yaitu transaksi
pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over
the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua
hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua
hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari (ِمَّما لاَ ُبَّد مِنْهُ) dan merupakan transaksi
internasional.
(3) Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka
membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit
valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu.
Ketiga
transaksi diatas diharamkan, dikarenakan terdapat riba nasi’ah didalamnya,
yaitu terjadinya kesepakatan kontrak jual-beli valuta (aqad) tanpa adanya
taqabud (kontan) pada saat terjadinya kontrak transaksi, selain itu
terdapat juga unsur maisir (spekulasi) didalamnya.
No comments:
Post a Comment