Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki kewajiban
untuk menjaga kesehatan perbankan Indonesia. Melalui UU No.21 Tahun 2008 dinyatakan
bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral mempunyai kewenangan atas bank
syari’ah dalam melakukan pengawasan dan pembimbingan[1].
Dalam rangka pengendalian moneter, Bank Indonesia dirasa
perlu menerbitkan peraturan-peraturan pengendalian moneter yang berdasarkan
prinsip syari’ah, serta sebagai upaya mengatasai kelebihan likuiditas
diperbankan syari’ah, maka BI menerbitkan beberapa instrumen penting yang
sesuai dengan prinsip syari’ah. Diantara instrument-instrumen tersebut adalah Giro Wajib Minimum (GWM) dan
Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI).
Giro Wajib Minimum (GWM) dan Sertifikat Wadi’ah
Bank Indonesia adalah dua instrument Bank Indonesia yang memakai prinsip wadi’ah.
Giro Wajib Minimum sebagai cadangan primer yang diatur dalam peraturan Bank
Indonesia No.2/7/PBI 2000, merupakan simpanan minimum bank dalam bentuk giro
pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia[2].
Kendati tidak ada fatwa terkait dari DSN tentang GWM ini, tetapi peraturan yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia ini sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Diantara nilai kemaslahatan yang terdapat
dalam peraturan GWM ini adalah, bahwa bank sebagai lembaga yang memiliki fungsi intermediasi dimana tugas utamanya
menyalurkan uang dari unit surplus ke unit minus ternyata tidak memiliki
kemampuan untuk memenuhi hak-hak para nasabah, tentunya hal ini akan menjadi
masalah besar mengingat sebagian besar uang yang berputar adalah milik nasabah.
Jika kewajiban bank terhadap nasabah tidak dapat dipenuhi baik itu ketika
nasabah akan menarik tabungan, giro, atau deposito, kredibilitas bank tersebut
dipertanyakan dan nama baik pun dipertaruhkan. Maka dari itu manajemen likuiditas
bank harus benar-benar difungsikan Dan salah satunya yaitu dalam bentuk Giro
Wajib Minimum (GWM) pada Bank Indonesia[3].
Pada
praktiknya, meski sangat mirip, namun ada perbedaan antara praktik GWM bank
konvensional dan bank syariah. Pertama, bank konvensional menerima imbal bunga,
meski tidak besar, sedangkan bank syariah tidak[4].
Sedangkan Sertifikat Wadi’ah Bank
Indonesia (SWBI) merupakan cadangan skunder Bank Syari’ah yang diletakkan di
Bank Indonesia. Juga dimaksudkan untuk menyerap kelebihan dana yang ada
diperbankan syari’ah, karena tidak menutup kemungkinan bahwa bank mengalami
kesulitan dalam menyalurkan dananya, sehingga dana tersebut menumpuk di bank
sebagaimana yang terjadi pada bank syariah yang mengalami overliquiditas
beberapa waktu yang lalu[5].
Bank Indonesia akan memberikan bonus atas
penitipan dana tersebut yang diperhitungkan pada saat jatuh tempo. Sesuai
prinsip wadiah, besarnya bonus tersebut tidak dipersyaratkan sebelumnya antara
bank syariah sebagai penitip dengan Bank Indonesia sebagai penerima titipan, bonus
tersebut tidak boleh ditetapkan dalam bentuk nominal ataupun persentase,
pemberian bonus ini merupakan kebijakan Bank Sentral yang bersifat sukarela[6].
Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI) diatur
dalam fatwa DSN No. 36/DSN-MUI/X/2002 dan Peraturan Bank Indonesia
No.6/7/PBI/2004. Dalam fatwanya DSN menetapkan beberapa ketentuan terkait SWBI[7],
diantaranya :
1)
Bank Indonesia selaku bank sentral boleh
menerbitkan instrument moneter berdasarkan prinsip syari’ah yang dinamakan
Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI), yang dapat dimanfaatkan oleh bank
syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditasnya.
2)
Akad yang digunakan untuk instrument SWBI
adalah akad wadi’ah sebagaimana diatur dalam fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000
tentang giro dan fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/ tentang tabungan.
3)
Dalam SWBI tidak boleh ada imbalan yang
dipersyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat
sukarela dari pihak Bank Indonesia
4)
SWBI tidak boleh diperjualbelikan.
[1] UU No.21 Tahun 2008 Pasal 50
[2] No.2/7/PBI 2000 Pasal 1
[4] http://www.republika.co.id/berita/bisnis-syariah/klinik-syariah/10/05/11/115088-apakah-giro-wajib-minimum-bertentangan-dengan-islam- Diakses pada 16/3/2017 pukul : 12:10 AM
[5] Kristia
Oktavina & Emile Setia Darma, Pengaruh
Kas, Bonus SWBI, Marjin Keuntungan, Dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Pembiayaan
Murabahah, Jurnal Akuntansi & Investasi Vol.13 No.1, 2001, hal 54
[6] Ibid hal 56
[7] DSN No. 36/DSN-MUI/X/2002
No comments:
Post a Comment