Saturday, June 24, 2017

Kritik Fatwa DSN Tentang Kredit Emas



Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa uang kertas telah di-qiyas-kan oleh para ulama dengan emas dan perak. Ini menjadikan keduanya –uang kertas dan emas/perak-mempunyai hukum yang sama. Yaitu haramnya memperjual-belikan keduanya (emas dan emas/perak dan perak/uang dan uang) kecuali harus ada kesamaan kuantitas dan kualitasnya, supaya terhindar dari riba fadhl dan diharuskan terjadi secara kontan agar terhindar dari riba nasi’ah. Namun apabila terjadi perbedaan, seperti jual-beli emas dengan perak ataupun emas dan uang, maka disyaratkan transaksi tersebut terjadi secara kontan.

Penjelasan diatas, adalah bagaimana seharusnya apabila emas masih digunakan sebagai alat tukar (ats-tsaman), namun bagaimanakah apabila permasalahan yang terjadi adalah seperti pada jaman sekarang, dimana emas bukanlah sebagai alat-tukar, melainkan dianggap sebagai komoditas. Maka dalam hal ini DSN-MUI menjelaskan dalam fatwa nomer 77 tahun 2010 tentang murabahah emas, bahwa bukan lagi sebagai alat-tukar, namun sudah menjadi komoditas. Hal ini tentunya menjadikan DSN menghalalkan jual beli emas dengan uang secara tidak kontan/kredit.  
Fatwa DSN MUI nomor 77 tahun 2010 tersebut mengundang pertanyaan dan kajian. Terlebih bahwa dalam fatwanya, DSN terlihat tidak membedakan antara perhiasan dan emas biasa. Dalam hal ini disebutkan didalam fatwa :
“Jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah, hukumnya boleh (mubah/ ja’iz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang)[1]

Penulis menilai bahwa DSN-MUI terlihat sangat membuka lebar prihal kredit emas. Padahal pendapat yang dipegang dan dijadikan dasar oleh DSN adalah pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah (w: 728 H) dan Ibnu al-Qayyim yang jelas menyatakan bahwa emas yang boleh diperjual-belikan secara kredit adalah emas yang berbentuk perhiasan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah :
يجوز بيع المصوغ من الذهب والفضة بجنسه من غير اشتراط التماثل، ويجعل الزائد في مقابل الصنعة، سواءا كان البيع حالا أو مؤجلا ما لم يقصد كونه ثمنا[2]
Boleh melakukan jual-beli emas dan perak yang sudah diolah dengan semisalnya (emas/perak), tanpa adanya syarat kesamaan (tamatsul), kelebihan tersebut sebagai upah pembuatan, tidak ada beda apakah jual-beli tersebut kontan ataupun secara kredit”
Begitu pula halnya dengan Ibnu Qayyim menyatakan :
يوضح أن الحلية المباحة صارت بالصنعة المباحة من جنس الثياب والسلع لا من جنس الأثمان، ولهذا لم تجب فيها الزكاة، فلا يجري الربا بينها وبين الأثمان، كما لا يجري بين الأثمان وبين سائر السلع[3]
Jelas bahwa perhiasan yang diperbolehkan dan dibuat dengan cara yang diperbolehkan juga, termasuk seperti baju dan barang, bukan sebagai alat-tukar. Maka dari itu, tidak diwajibkan pada perhiasan zakat, dan tidak terjadi riba antara perhiasan dan alat-tukar, sebagaimana tidak terjadi riba antara alat-tukar dan harta benda (selain 6 (enam) yang disebut didalam hadist)”
Sampai disini penulis sangat sependapat dengan yang disampaikan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim. Namun penulis merasa tidak sependapat dengan DSN-MUI yang menyatakan bahwa segala jenis emas dan perak telah kehilangan fungsinya sebagai mata uang (tsaman) sehingga boleh dijual/dibeli secara tidak tunai, sebagaimana barang lainnya, karena emas dan perak masih mempunyai fungsi sebagai alat tukar, tentunya walaupun tidak semasif dahulu. Ini dikarenakan emas/perak mempunyai perbedaan yang mendasar dari benda-benda berharga tersebut, yaitu stabilitas nilainya. Berbeda dengan benda berharga lainnya yang nilainya lebih fluktuatif, bahkan uang kertas itu sendiri. Maka menjadi wajar bahwa suatu negara diwajibkan mempunyai cadangan devisa berupa emas mengingat nilainya yang stabil. Sebagaimana yang terdapat pada penjelasan UU.No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia pasal 13 :
“Yang dimaksud dengan cadangan devisa adalah cadangan devisa negara yang dikuasai oleh Bank Indonesia, yang tercatat pada sisi aktiva neraca Bank Indonesia, yang antara lain berupa emas, uang kertas asing dan tagihan lainnya dalam valuta asing kepada pihak luar negeri yang dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran luar neger. Cadangan devisa mencakup pula hak atas devisa yang setiap waktu dapat ditarik dari suatu badan keuangan internasional”

Selain itu, kesediaan emas yang diharuskan sebagai cadangan devisa juga dapat menguatkan argumentasi bahwa emas tetap mempunyai fungsi (tsamaniyah) dimata global. Dengan begini maka kita dapat katakan bahwa tidak dijadikannya emas/perak sebagai alat tukar pada dewasa ini oleh masyarakat, tidak serta –merta menjadikan sifat tsamaniyyah-nya luntur. Bahkan dalam perdagangan internasional pun emas tetap digunakan sebagai salah satu alat-tukar yang sah[4].
Sebagaimana yang kita tahu bahwa ‘illat didalam ilmu ushul al-fiqh adalah :
أن تكون العلة وصفا مناسبا ظاهرا منضبطا متعدية[5]  
 llat haruslah berbentuk sifat yang sesuai, jelas, tidak berubah dan dapat mempengaruhi (al-far’u)
Maka dengan mengacu pada syarat ‘illat diatas, penulis berkesimpulan bahwa ‘illat adalah suatu sifat yang melekat pada al-ashl dan al-far’u. Ini menjadi berlaku pada ‘illat dari pada emas dan perak yang belum diolah menjadi perhiasan yaitu ats-tsaman (alat-tukar). Karena ia masih melekat pada emas/perak. Tidak dipergunakannya emas ataupun perak sebagai alat-tukar oleh masyarakat, tidak menjadikan sifat tersebut menjadi hilang. Bahkan MUI-DSN sendiri menyatakan bahwa sifat emas dan perak sebagai tsaman belumlah hilang, melainkan hanya tidak dipergunakan, jika dipergunakan maka hukum kredit emas menjadi haram kembali.
Selanjutnya, kita mengetahui bahwasanya emas/perak merupakan ­al-ashl dari uang yang merupakan al-far’u, keduanya saling terikat dan terhubung dengan illat ast-tsamaniyyah. Maka yang menjadi pertanyaan adalah, apabila al-ashl yang dalam hal ini adalah emas/perak telah hilang dikarenakan hilangnya ‘illat-nya, maka bagaimanakah nasib dari al-far’u yang dalam hal ini adalah uang kertas, yang pada dasarnya ia mengikuti hukum daripada al-ashl, maka jika hukum al-ashl sudah tiada tentunya hukum al-far’u yang berupa uang kertas juga menjadi tiada. Maka dengan begini, uang kertas bukanlah lagi sebagai salah satu dari harta riba. Sebagaimana kaidah ushul menyatakan :
إذا سقط الأصل سقط الفرع
“Apabila hukum ashal gugur, maka hukum al-far’u juga gugur”
Namun penulis melihat bahwa dalil yang digunakan oleh DSN-MUI dalam membolehkan jual-beli emas secara kredit juga kuat. Hal ini tentunya membuktikan ketajaman berfikir ulama Indonesia dalam melakukan istinbath hukum. Diantara dalil yang digunakan oleh DSN adalah kaidah ilmu ushul al-fiqh yang menyatakan :
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما[6]
Hukum berputar (berlaku) bersama dengan ‘illatnya ada ataupun tiada”
Tentunya kaidah tersebut, dalam kasus ini dikaitkan dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, yaitu apakah masyarakat secara kebiasaan masih menggunakan emas/perak sebagai alat tukar ? Untuk itulah secara otomatis kaidah fiqhiyyah tentang adat/kebiasaan berlaku, seperti kaidah yang berbunyi :
العادة محكمة[7]
“Adat yang berlaku dalam suatu masyarakat, berlaku sebagai sumber hukum”
Namun, kedua dalil yang digunakan oleh DSN-MUI diatas dapat dikritisi dengan menyatakan bahwa : 1) Masyarakat global/internasional masih menggunakan emas sebagai alat pembayaran. 2) Tidak digunakannya emas/perak sebagai alat tukar oleh masyarakat tidak menjadikan sifat keduanya sebagai alat-tukar (tsaman) menjadi luntur. Terlebih ia masih digunakan oleh ototritas besar seperti negara untuk pembayaran luar-negeri. 3) Bahwa yang dimaksud dengan hukum bergantung pada illat-nya adalah hukum suatu perbuatan menjadi hilang apabila sifat dari objek perbuatan tersebut juga hilang. Seperti minuman keras yang unsur-unsur memabukkannya dihilangkan, sehingga tidak ada lagi sifat memabukkan pada minuman tersebut, maka hukum meminumnya pun menjadi boleh/mubah. Hal ini berbeda terhadap emas dan perak yang masih memiliki sifat ats-tsamaniyah. Sifat tsamaniyyah tersebut akan menjadi hilang, apabila emas/perak tersebut dijadikan sebagai perhiasan.
Maka dalam hal ini, penulis menyatakan bahwa hukum kredit emas batang/yang belum dijadikan sebagai perhiasan adalah haram. Dikarenakan larangan Rasulullah SAW atas jual beli barang yang memiliki ‘illat yang sama namun berbeda jenisnya dengan cara kredit/tidak kontan. Jadi syarat kontan/ yadan bi yadin masih berlaku pada jual-beli emas dengan uang


[1]Fatwa DSN No.77/DSN-MUI/V/2010 Tentang Murabahah Emas
[2]Ali bin Muhammad, al-Akhbar al-‘Ilmiyyah min al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah Li Asy-Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, (Riyadh : Dar al-‘Ashimah) h 188
[3] Muhammad bin Abi Bakr, ‘Ilam al-Mauqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Jilid 2 h 407
[5]Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Damaskus : Dar al-Fikr 1986) Juz 1 h 605
[6]Ali Ahmad al-Nadawiy, Mawsu’ah al-Qawa’id wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah al-Hakimah li-al-Mu’amalat al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islamiy,(Riyadh: Dar Alam al-Ma’rifah, 1999) Juz. 1, h. 395
[7]Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthiy, al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qawa’id wa Furu’ al-Syafi’iyah, (Kairo: Dar al-Salam, 2004) h. 221



No comments: