Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa uang kertas telah di-qiyas-kan
oleh para ulama dengan emas dan perak. Ini menjadikan keduanya –uang kertas dan
emas/perak-mempunyai hukum yang sama. Yaitu haramnya memperjual-belikan
keduanya (emas dan emas/perak dan perak/uang dan uang) kecuali harus ada
kesamaan kuantitas dan kualitasnya, supaya terhindar dari riba fadhl dan
diharuskan terjadi secara kontan agar terhindar dari riba nasi’ah. Namun
apabila terjadi perbedaan, seperti jual-beli emas dengan perak ataupun emas dan
uang, maka disyaratkan transaksi tersebut terjadi secara kontan.
Penjelasan diatas, adalah bagaimana seharusnya apabila emas masih
digunakan sebagai alat tukar (ats-tsaman), namun bagaimanakah apabila
permasalahan yang terjadi adalah seperti pada jaman sekarang, dimana emas
bukanlah sebagai alat-tukar, melainkan dianggap sebagai komoditas. Maka dalam
hal ini DSN-MUI menjelaskan dalam fatwa nomer 77 tahun 2010 tentang murabahah
emas, bahwa bukan lagi sebagai alat-tukar, namun sudah menjadi komoditas. Hal
ini tentunya menjadikan DSN menghalalkan jual beli emas dengan uang secara
tidak kontan/kredit.
Fatwa DSN MUI nomor 77 tahun 2010 tersebut mengundang pertanyaan
dan kajian. Terlebih bahwa dalam fatwanya, DSN terlihat tidak membedakan antara
perhiasan dan emas biasa. Dalam hal ini disebutkan didalam fatwa :
“Jual beli
emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah,
hukumnya boleh (mubah/ ja’iz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang)[1]”
Penulis menilai bahwa DSN-MUI terlihat sangat membuka lebar prihal
kredit emas. Padahal pendapat yang dipegang dan dijadikan dasar oleh DSN adalah
pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah (w: 728 H) dan Ibnu al-Qayyim yang
jelas menyatakan bahwa emas yang boleh diperjual-belikan secara kredit adalah
emas yang berbentuk perhiasan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah :
يجوز
بيع المصوغ من الذهب والفضة بجنسه من غير اشتراط التماثل، ويجعل الزائد في مقابل
الصنعة، سواءا كان البيع حالا أو مؤجلا ما لم يقصد كونه ثمنا[2]
“Boleh melakukan jual-beli emas dan perak yang sudah diolah
dengan semisalnya (emas/perak), tanpa adanya syarat kesamaan (tamatsul),
kelebihan tersebut sebagai upah pembuatan, tidak ada beda apakah jual-beli
tersebut kontan ataupun secara kredit”
Begitu pula halnya dengan Ibnu Qayyim menyatakan :
يوضح
أن الحلية المباحة صارت بالصنعة المباحة من جنس الثياب والسلع لا من جنس الأثمان،
ولهذا لم تجب فيها الزكاة، فلا يجري الربا بينها وبين الأثمان، كما لا يجري بين
الأثمان وبين سائر السلع[3]
“Jelas bahwa perhiasan yang diperbolehkan dan dibuat dengan
cara yang diperbolehkan juga, termasuk seperti baju dan barang, bukan sebagai
alat-tukar. Maka dari itu, tidak diwajibkan pada perhiasan zakat, dan tidak
terjadi riba antara perhiasan dan alat-tukar, sebagaimana tidak terjadi riba
antara alat-tukar dan harta benda (selain 6 (enam) yang disebut didalam
hadist)”
Sampai disini penulis sangat
sependapat dengan yang disampaikan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah
dan Ibnu al-Qayyim. Namun penulis merasa tidak sependapat dengan DSN-MUI yang
menyatakan bahwa segala jenis emas dan perak telah kehilangan fungsinya sebagai
mata uang (tsaman) sehingga boleh dijual/dibeli secara tidak tunai,
sebagaimana barang lainnya, karena emas dan perak masih mempunyai fungsi
sebagai alat tukar, tentunya walaupun tidak semasif dahulu. Ini dikarenakan emas/perak
mempunyai perbedaan yang mendasar dari benda-benda berharga tersebut, yaitu
stabilitas nilainya. Berbeda dengan benda berharga lainnya yang nilainya lebih
fluktuatif, bahkan uang kertas itu sendiri. Maka menjadi wajar bahwa suatu
negara diwajibkan mempunyai cadangan devisa berupa emas mengingat nilainya yang
stabil. Sebagaimana yang terdapat pada penjelasan UU.No 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia pasal 13 :
“Yang
dimaksud dengan cadangan devisa adalah cadangan devisa negara yang dikuasai
oleh Bank Indonesia, yang tercatat pada sisi aktiva neraca Bank Indonesia, yang
antara lain berupa emas, uang kertas asing dan tagihan lainnya dalam valuta
asing kepada pihak luar negeri yang dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran
luar neger. Cadangan devisa mencakup pula hak atas devisa yang setiap waktu
dapat ditarik dari suatu badan keuangan internasional”
Selain itu, kesediaan emas yang
diharuskan sebagai cadangan devisa juga dapat menguatkan argumentasi bahwa emas
tetap mempunyai fungsi (tsamaniyah) dimata global. Dengan begini maka kita
dapat katakan bahwa tidak dijadikannya emas/perak sebagai alat tukar pada
dewasa ini oleh masyarakat, tidak serta –merta menjadikan sifat tsamaniyyah-nya
luntur. Bahkan dalam perdagangan internasional pun emas tetap digunakan sebagai
salah satu alat-tukar yang sah[4].
Sebagaimana yang kita tahu bahwa ‘illat didalam ilmu ushul
al-fiqh adalah :
أن تكون العلة وصفا
مناسبا ظاهرا منضبطا متعدية[5]
“llat haruslah berbentuk sifat yang sesuai, jelas, tidak berubah
dan dapat mempengaruhi (al-far’u)
Maka dengan mengacu pada syarat ‘illat diatas, penulis
berkesimpulan bahwa ‘illat adalah suatu sifat yang melekat pada al-ashl
dan al-far’u. Ini menjadi berlaku pada ‘illat dari pada emas dan
perak yang belum diolah menjadi perhiasan yaitu ats-tsaman (alat-tukar).
Karena ia masih melekat pada emas/perak. Tidak dipergunakannya emas ataupun
perak sebagai alat-tukar oleh masyarakat, tidak menjadikan sifat tersebut
menjadi hilang. Bahkan MUI-DSN sendiri menyatakan bahwa sifat emas dan perak
sebagai tsaman belumlah hilang, melainkan hanya tidak dipergunakan, jika
dipergunakan maka hukum kredit emas menjadi haram kembali.
Selanjutnya, kita mengetahui
bahwasanya emas/perak merupakan al-ashl dari uang yang merupakan al-far’u,
keduanya saling terikat dan terhubung dengan illat ast-tsamaniyyah. Maka
yang menjadi pertanyaan adalah, apabila al-ashl yang dalam hal ini
adalah emas/perak telah hilang dikarenakan hilangnya ‘illat-nya, maka
bagaimanakah nasib dari al-far’u yang dalam hal ini adalah uang kertas, yang
pada dasarnya ia mengikuti hukum daripada al-ashl, maka jika hukum al-ashl
sudah tiada tentunya hukum al-far’u yang berupa uang kertas juga
menjadi tiada. Maka dengan begini, uang kertas bukanlah lagi sebagai salah satu
dari harta riba. Sebagaimana kaidah ushul menyatakan :
إذا
سقط الأصل سقط الفرع
“Apabila hukum ashal gugur, maka hukum al-far’u juga gugur”
Namun penulis melihat bahwa dalil yang digunakan oleh DSN-MUI dalam
membolehkan jual-beli emas secara kredit juga kuat. Hal ini tentunya
membuktikan ketajaman berfikir ulama Indonesia dalam melakukan istinbath
hukum. Diantara dalil yang digunakan oleh DSN adalah kaidah ilmu ushul
al-fiqh yang menyatakan :
الحكم يدور مع علته
وجودا وعدما[6]
“Hukum berputar (berlaku) bersama dengan ‘illatnya ada
ataupun tiada”
Tentunya kaidah tersebut, dalam kasus ini dikaitkan dengan
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, yaitu apakah masyarakat secara
kebiasaan masih menggunakan emas/perak sebagai alat tukar ? Untuk itulah secara
otomatis kaidah fiqhiyyah tentang adat/kebiasaan berlaku, seperti kaidah
yang berbunyi :
العادة محكمة[7]
“Adat yang berlaku dalam suatu masyarakat, berlaku sebagai sumber
hukum”
Namun, kedua dalil yang digunakan oleh DSN-MUI diatas dapat
dikritisi dengan menyatakan bahwa : 1) Masyarakat global/internasional masih
menggunakan emas sebagai alat pembayaran. 2) Tidak digunakannya emas/perak
sebagai alat tukar oleh masyarakat tidak menjadikan sifat keduanya sebagai
alat-tukar (tsaman) menjadi luntur. Terlebih ia masih digunakan oleh
ototritas besar seperti negara untuk pembayaran luar-negeri. 3) Bahwa yang dimaksud
dengan hukum bergantung pada illat-nya adalah hukum suatu perbuatan
menjadi hilang apabila sifat dari objek perbuatan tersebut juga hilang. Seperti
minuman keras yang unsur-unsur memabukkannya dihilangkan, sehingga tidak ada
lagi sifat memabukkan pada minuman tersebut, maka hukum meminumnya pun menjadi
boleh/mubah. Hal ini berbeda terhadap emas dan perak yang masih memiliki sifat ats-tsamaniyah.
Sifat tsamaniyyah tersebut akan menjadi hilang, apabila emas/perak
tersebut dijadikan sebagai perhiasan.
Maka dalam hal ini, penulis menyatakan bahwa hukum kredit emas
batang/yang belum dijadikan sebagai perhiasan adalah haram. Dikarenakan
larangan Rasulullah SAW atas jual beli barang yang memiliki ‘illat yang
sama namun berbeda jenisnya dengan cara kredit/tidak kontan. Jadi syarat
kontan/ yadan bi yadin masih berlaku pada jual-beli emas dengan uang
[1]Fatwa DSN
No.77/DSN-MUI/V/2010 Tentang Murabahah Emas
[2]Ali bin
Muhammad, al-Akhbar al-‘Ilmiyyah min al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah Li
Asy-Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, (Riyadh : Dar al-‘Ashimah) h 188
[3]
Muhammad bin
Abi Bakr, ‘Ilam al-Mauqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Jilid 2 h 407
[5]Wahbah Zuhaili,
Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Damaskus : Dar al-Fikr 1986) Juz 1 h 605
[6]Ali Ahmad
al-Nadawiy, Mawsu’ah al-Qawa’id wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah al-Hakimah
li-al-Mu’amalat al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islamiy,(Riyadh: Dar Alam al-Ma’rifah,
1999) Juz. 1, h. 395
[7]Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman
al-Suyuthiy, al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qawa’id wa Furu’ al-Syafi’iyah, (Kairo: Dar
al-Salam, 2004) h. 221
No comments:
Post a Comment