Thursday, February 23, 2017

ISTIHSAN SEBAGAI DALIL SYAR'I (KRITIK TERHADAP LANDASAN ISTIHSANI DAN PENGKLASIFIKASIANNYA) PART 2


Setelah kita mengenal istihsan melalui pengertian para ulama dalam pembahasan diatas, kita juga harus mengetahui rujukan para ulama dalam menjadikannya sebagai hujjah, yaitu berupa dalil-dalil yang menunjukkan kebasahan istihsan itu sendiri, diantara dalil-dalil itu adalah :

1.    Al-Qur’an
Ada beberapa ayat didalam al-Qur’an yang dinyatakan oleh sebagian ulama yang mendukung istihsan sebagai dalil kehujjahan istihsan, diantaranya :
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ[1]
Yaitu orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik diantaranya”
Begitu juga dengan firman Allah SWT :
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ[2]
Dan ikutilah sebaik-baik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan
kalian”
Pada ayat pertama, kita melihat bahwa Allah SWT memuji mereka yang mengikuti perkataan yang paling baik, sebagaimana istihsan yang berupa pengambilan dalil terbaik dari kedua dalil untuk diterapkan. Sedangkan pada ayat kedua, Allah SWT memerintahkan kita untuk senantiasa mengikuti sebaik-baik yang ia turunkan, begitu halnya dengan istihsan yang bisa dikatakan sebagai implementasi dari ayat tersebut[3].
Penggunaan kedua ayat tersebut sebagai dalil dari keabsahan istihsan pada dasarnya dapat kita kritisi, mengingat pada ayat pertama secara ekplisit tidak menunjukkan kewajiban untuk mengikuti perkataan yang terbaik. Selanjutnya pada ayat kedua, kita juga tidak mendapati bahwa istihsan adalah sebagai dalil yang Allah SWT turunkan, terlebih sebagai sebaik-baik yang diturunkan[4].
2.    Sunnah
Begitu juga dengan sunnah/hadist, beberapa darinya dinyatakan oleh para ulama yang mendukung istihsan sebagai dalil yang menunjukkan tentang keabsahannya, diantara hadist tersebut adalah :
رسول الله – صلى الله عليه وسلم- قال : ما رآه المسلمون حسنا فهو من عند الله حسن[5]
Rasulullah SAW bersabda : Sesuatu yang dipandang oleh kaum muslimin sebagai suatu kebaikan, maka ia juga disisi oleh Allah SWT sebagai kebaikan”
            Hadist diatas menunjukkan setiap yang dipandang baik oleh umat Islam maka ia juga baik disisi Allah SWT. Sudut pandangnya adalah, istihsan jika ia bukanlah suatu hujjah maka ia tidak dipandang baik disisi Allah SWT[6].
            Pemakaian hadist ini sebagai sandaran atas kehujjahannya istihsan sangatlah dipaksakan, karena hadist tersebut sebenarnya sama sekali tidak menyinggung tentang istihsan, melainkan ia memberikan isyarat atas legalitas ijma’ sebagai salah satu sumber hukum Islam, berikut dengan kemaksuman umat terhadap kesalahan jika terjadi ijma’ diantara mereka.
            Selain itu, jika tetap dipaksakan juga, maka hadist ini lebih cendrung kepada istihsan yang diingkari keabsahannya oleh seluruh ulama, yaitu menjadikan apa yang dianggap oleh individu atau kelompok suatu kebaikan walaupun ia berdasarkan kepada hawa nafsu. Dan tentunya, hal ini tidaklah benar, dan hadist diatas pun sangat jauh pemahamannya apabila diinterpretasikan seperti itu[7].
3.    Ijma’
Dalam hal ini para ulama mengungkapkan adanya dalil ijma’ terhadap legalnya istihsan sebagai dalil syar’i.  Seperti yang terjadi pada permasalahan sewa kamar mandi ataupun upah meminta minuman. Mereka menyatakan bahwa telah terjadi konsensus umat Islam dengan menggunakan istihsan bahwa boleh menyewa kamar mandi tanpa menghitung lamanya waktu berada didalamnya, begitu juga berapa banyak air yang diminum dalam upah meminta minuman[8].
Menyatakan bahwanya dalil dari kedua produk hukum yang telah terjadi ijma’ diatas adalah istihsan sebenarnya kurang tepat. Karena kedua permasalahan tersebut telah terjadi dijaman Rasulullah SAW, taqrir Nabi Muhammad SAW atas kedua hal diatas adalah dalil nash yang menjadi dalil, bukan istihsan[9].
Walaupun dalil-dalil yang dijelaskankan diatas semuanya tidak lepas dari kritikan, tetapi sejatinya istihsan dapat berdiri dengan dalil-dalil yang lain. Seperti misalkan terjadi istihsan dengan menggunakan dalil al-Qur’an, maka justru kehujjahan istihsan itu sendiri berdiri berdasarkan kehujjahan al-Qur’an. Karena sejatinya istihsan adalah penamaan para fuqaha terhadap sesuatu yang mentakhsis qiyas mereka. Dalam hal ini imam as-Syarkhasi menjelaskan :
فسموا ذلك استحسانا للتمييز بين هذا النوع من الدليل وبين الظاهر الذي تسبق إليه الأوهام[10].
Mereka menamainya sebagai istihsan untuk membedakan antara jenis sebagai dalil dan antara zhahir yang didahului oleh wahm”
            Sama seperti as-Syarkhasi, al-Bazdawi juga memberikan alasan kenapa metode ini dinamakan dengan istihsan ? Ia menyatakan bahwa dinamai istihsan adalah sebagai isyarat bahwa mengamalkannya lebih diutamakan[11].
            Mengetahui istihsan sebagai dalil yang dapat dijadikan landasan dalam berijtihad merupakan hal yang amat sangat penting, bahkan imam Malik pernah menyatakan :
تسعة أعشار العلم الاستحسان[12]
Sembilan dari sepuluh ilmu adalah istihsan”



[1] Az-Zumar : 18
[2] Az-Zumar : 55
[3] Ali bin Muhammad, Op.cit, hal 194
[4]Ibid
[5]Mu’jam al-Ausath 3602, Hadist hasan mauquf atas Ibnu Mas’ud
[6]Ali bin Muhammad, Loc.cit
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Muhammd bin Ahmad, Op.cit, juz 2 hal 200
[11] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, ( Damaskus : Dar al-Fikri 1986 M) Cet : 1, Juz 2 hal 741
[12] Ibrahim bin Musa, al-Muwafaqat, Juz 5 hal 198

No comments: