Setelah
kita mengenal istihsan melalui pengertian para ulama dalam pembahasan
diatas, kita juga harus mengetahui rujukan para ulama dalam menjadikannya
sebagai hujjah, yaitu berupa dalil-dalil yang menunjukkan kebasahan istihsan
itu sendiri, diantara dalil-dalil itu adalah :
1.
Al-Qur’an
Ada
beberapa ayat didalam al-Qur’an yang dinyatakan oleh sebagian ulama yang
mendukung istihsan sebagai dalil kehujjahan istihsan, diantaranya
:
الَّذِينَ
يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ[1]
“Yaitu orang-orang
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik diantaranya”
Begitu juga
dengan firman Allah SWT :
وَاتَّبِعُوا
أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ[2]
“Dan
ikutilah sebaik-baik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan
kalian”
Pada
ayat pertama, kita melihat bahwa Allah SWT memuji mereka yang mengikuti
perkataan yang paling baik, sebagaimana istihsan yang berupa pengambilan
dalil terbaik dari kedua dalil untuk diterapkan. Sedangkan pada ayat kedua,
Allah SWT memerintahkan kita untuk senantiasa mengikuti sebaik-baik yang ia
turunkan, begitu halnya dengan istihsan yang bisa dikatakan sebagai
implementasi dari ayat tersebut[3].
Penggunaan
kedua ayat tersebut sebagai dalil dari keabsahan istihsan pada dasarnya
dapat kita kritisi, mengingat pada ayat pertama secara ekplisit tidak
menunjukkan kewajiban untuk mengikuti perkataan yang terbaik. Selanjutnya pada
ayat kedua, kita juga tidak mendapati bahwa istihsan adalah sebagai
dalil yang Allah SWT turunkan, terlebih sebagai sebaik-baik yang diturunkan[4].
2.
Sunnah
Begitu
juga dengan sunnah/hadist, beberapa darinya dinyatakan oleh para ulama yang
mendukung istihsan sebagai dalil yang menunjukkan tentang keabsahannya,
diantara hadist tersebut adalah :
رسول الله – صلى الله عليه وسلم- قال :
ما رآه المسلمون حسنا فهو من عند الله حسن[5]
“Rasulullah SAW
bersabda : Sesuatu yang dipandang oleh kaum muslimin sebagai suatu kebaikan,
maka ia juga disisi oleh Allah SWT sebagai kebaikan”
Hadist
diatas menunjukkan setiap yang dipandang baik oleh umat Islam maka ia juga baik
disisi Allah SWT. Sudut pandangnya adalah, istihsan jika ia bukanlah
suatu hujjah maka ia tidak dipandang baik disisi Allah SWT[6].
Pemakaian
hadist ini sebagai sandaran atas kehujjahannya istihsan sangatlah
dipaksakan, karena hadist tersebut sebenarnya sama sekali tidak menyinggung
tentang istihsan, melainkan ia memberikan isyarat atas legalitas ijma’
sebagai salah satu sumber hukum Islam, berikut dengan kemaksuman umat terhadap
kesalahan jika terjadi ijma’ diantara mereka.
Selain
itu, jika tetap dipaksakan juga, maka hadist ini lebih cendrung kepada istihsan
yang diingkari keabsahannya oleh seluruh ulama, yaitu menjadikan apa yang
dianggap oleh individu atau kelompok suatu kebaikan walaupun ia berdasarkan
kepada hawa nafsu. Dan tentunya, hal ini tidaklah benar, dan hadist diatas pun
sangat jauh pemahamannya apabila diinterpretasikan seperti itu[7].
3.
Ijma’
Dalam
hal ini para ulama mengungkapkan adanya dalil ijma’ terhadap legalnya istihsan
sebagai dalil syar’i. Seperti
yang terjadi pada permasalahan sewa kamar mandi ataupun upah meminta minuman.
Mereka menyatakan bahwa telah terjadi konsensus umat Islam dengan menggunakan istihsan
bahwa boleh menyewa kamar mandi tanpa menghitung lamanya waktu berada
didalamnya, begitu juga berapa banyak air yang diminum dalam upah meminta
minuman[8].
Menyatakan
bahwanya dalil dari kedua produk hukum yang telah terjadi ijma’ diatas adalah istihsan
sebenarnya kurang tepat. Karena kedua permasalahan tersebut telah terjadi
dijaman Rasulullah SAW, taqrir Nabi Muhammad SAW atas kedua hal diatas
adalah dalil nash yang menjadi dalil, bukan istihsan[9].
Walaupun dalil-dalil yang dijelaskankan diatas semuanya tidak lepas
dari kritikan, tetapi sejatinya istihsan dapat berdiri dengan
dalil-dalil yang lain. Seperti misalkan terjadi istihsan dengan
menggunakan dalil al-Qur’an, maka justru kehujjahan istihsan itu sendiri
berdiri berdasarkan kehujjahan al-Qur’an. Karena sejatinya istihsan
adalah penamaan para fuqaha terhadap sesuatu yang mentakhsis qiyas
mereka. Dalam hal ini imam as-Syarkhasi menjelaskan :
فسموا ذلك استحسانا للتمييز بين هذا النوع
من الدليل وبين الظاهر الذي تسبق إليه الأوهام[10].
“Mereka menamainya
sebagai istihsan untuk membedakan antara jenis sebagai dalil dan antara zhahir
yang didahului oleh wahm”
Sama
seperti as-Syarkhasi, al-Bazdawi juga memberikan alasan kenapa metode ini
dinamakan dengan istihsan ? Ia menyatakan bahwa dinamai istihsan
adalah sebagai isyarat bahwa mengamalkannya lebih diutamakan[11].
Mengetahui
istihsan sebagai dalil yang dapat dijadikan landasan dalam berijtihad
merupakan hal yang amat sangat penting, bahkan imam Malik pernah menyatakan :
تسعة أعشار العلم الاستحسان[12]
“Sembilan dari sepuluh
ilmu adalah istihsan”
[1] Az-Zumar : 18
[2] Az-Zumar : 55
[3] Ali bin
Muhammad, Op.cit, hal 194
[4]Ibid
[5]Mu’jam
al-Ausath 3602, Hadist hasan mauquf atas Ibnu Mas’ud
[6]Ali bin
Muhammad, Loc.cit
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Muhammd bin
Ahmad, Op.cit, juz 2 hal 200
[11] Wahbah Zuhaili,
Ushul al-Fiqh al-Islami, ( Damaskus : Dar al-Fikri 1986 M) Cet :
1, Juz 2 hal 741
[12] Ibrahim bin
Musa, al-Muwafaqat, Juz 5 hal 198
No comments:
Post a Comment