Thursday, February 23, 2017

FORCE MAJEURE DAN Al-JAIHAH (Explanation, Comparison and Discussion)








Explanation
 Secara garis besar kegiatan berekonomi merupakan fitrah manusia, sekaligus merupakan unsur utama terbentuknya suatu komunitas masyarakat yang kuat.
 Maka tidak heran Islam sebagai agama yang sempurna memiliki kepentingan dalam mengatur ekonomi umatnya demi mewujudkan system perekonomian yang bebas dari tindak kedzoliman, dalam hal ini Allah SWT berfirman :
لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Artinya : “Kalian tidak mendzolimi dan tidak pula di dzolimi” (Q.S Al-Baqarah : 276)
Dalam perkembangannya, terdapat banyak permasalahan yang sejatinya didalam literatur fiqh klasik belum banyak diperbincangkan, salah satunya adalah permasalahan force majeure.
Dalam KUH Perdata terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang force majeure, diantaranya yaitu pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Didalam kedua pasal tersebut dipahami bahwa force majeure  adalah suatu keadaan dimana tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan karena hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tersebut[1]. Diantara keadaan yang dapat dikatagorikan force majeure adalah seperti terjadinya perang, bencana alam (act of god), hilangnya objek yang diperjanjikan dan tindakan administratif penguasa[2].
Sesuai dengan KUH Perdata diatas, maka suatu peristiwa dapat dikatakan force maejur apabila terdapat 3 (tiga) unsur, yaitu : (1) Tidak terpenuhi prestasi. (2) Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitur. (3) Penyebab tersebut tidak dapat diduga dan dipertanggungjawabakan oleh debitur. Jika terjadi force maejur dengan terpenuhinya unsur pertama dan ketiga maka force majeur ini disebut absolut overmacht atau keadaan memaksa yang berdasarkan ketidakmungkinan (impossibility). Namun, jika yang terpenuhi adalah unsur kedua dan ketiga, maka force majeur ini disebut relative overmacht, atau keadaan memaksa yang bersifat subyektif[3].
Sementara itu, didalam literature fiqh klasik, terdapat sebuah ketentuan hukum yang hampir menyerupai force majeur. Ketentuan ini biasa disebut dengan al-Jaihah, yaitu suatu keadaan dimana telah terjadi akad salam terhadap petani buah dan pembeli, keduanya sepakat bahwa jika buah-buahan tersebut telah siap panen maka petani menyerahkannya kepada pembeli sesuai dengan harga yang telah diterima oleh petani ketika hanya nampak beberapa buah yang matang, namun terjadi suatu bencana diluar kekuasaan keduanya yang memaksa petani tidak dapat menyerahkan hasil panennya, keadaan ini disebut ­al-Jaihah[4].
Sejatinya al-Jaihah dalam penerapannya tidaklah terbatas pada akad salam, melainkan dapat diqiaskan kepada beberapa akad, diantaranya ijarah, ba’i murabahah, isthisna’ dan sebagainya. Penerapan al-Jaihah dalam jual beli buah-buahan dalam akad salam pada dasarnya diambil dari hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا، فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ، فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟
Artinya : Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu terkena bencana, maka tidak halal bagimu mengambil sesuatu pun darinya. Dengan (imbalan) apa engkau mengambil harta saudaramu dengan tanpa hak? [5]
            Hadist diatas merupakan dasar dari hukum al-Jaihah. Para ulama berpendapat bahwa al-Jaihah wajib diterapkan, karena buah-buahan tersebut masihlah dimiliki oleh petani buah dan belum berpindah tangan kepada pembeli, begitu pula jika tidak diterapkan maka petani buah dianggap telah memakan harta yang bukan haknya. Selain itu, terdapat sebagai penguat hadist diatas terdapat riwayat  lain yang berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ أَمَرَ بِوَضْعِ الجَوَائِح
Artinya : “Nabi Muhammad SAW menyuruh menerapkan al-Jawaih[6]      
Jadi dapat dikatakan bahwa al-Jaihah dan force majeur keduanya adalah merupakan bentuk dari tindakan darurat atas suatu kontrak jika terjadi keadaan darurat yang memaksa. Pada tahapan berikutnya, adalah membandingkan (Comparison) letak perbedaan antara force majeur dan al-Jaihah.

Comparison
            Force majeur dan al-Jaihah, seperti yang dijelaskan diatas, merupakan dua ketentuan yang mempunyai maksud sama, yaitu suatu bentuk dari tindakan darurat atas suatu kontrak jika terjadi keadaan darurat yang memakasa. Namun disamping kesamaan tersebut, ada perbedaan mendasar dari keduanya, yaitu terkait dengan tanggungan resiko. Siapakah yang akan menanggung resiko? Pihak kreditur yang sudah membayar dimuka, ataukah pihak debitur yang berjanji akan menyerahkan prestasinya? Hal inilah yang  akan menjadi bahasan kita pada pragraf-pragraf selanjutnya.
            Didalam al-Jaihah jika terjadi suatu kejadian yang disebabkan oleh langit atau disebabkan oleh campur tangan manusia, maka pihak debitur yang dalam hal ini adalah penjual buah, menanggung kerugiannya. Sedangkan pihak kreditur yang merupakan pembeli akan mendapatkan uangnya kembali. Hal ini dikarenakan pihak kreditur sama sekali tidak mendapatkan timbal balik dari uang yang ia keluarkan, selain itu dalam hal ini pihak kreditur belum melakukan serah terima dengan pihak debitur sehingga resiko masih berada ditangan debitur. Maka sudah sewajarnya jika pihak debiturlah yang menanggung kerugian.
            Didalam Islam, serah terima merupakan unsur utama dalam perpindahan resiko, sedangkan dalam permasalahan ini, belumlah terjadi serah terima yang berdampak pada peralihan resiko, dikarenakan debitur atau petani buah tetap harus merawat tanamannya sampai waktu yang ditentukan. Tetapi, dengan ditanda-tangani nya kontrak dan telah diserahkannya pembayaran sebenarnya telah terjadi serah terima, namun serah terima ini dapat dikatagorikan sebagai serah terima yang berdampak pada bolehnya pemanfaatan, bukan serah terima yang berdampak pada peralihan resiko[7]. 
            Namun didalam pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata kita temui debitur tidak dapat dimintai pertanggung jawaban dan tidak dapat dianggap wanprestasi. Kewajiban debitur untuk menunaikan prestasi telah gugur sehingga kreditur tidak berhak lagi menuntutnya[8]. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1237 KUH Perdata yang menyatakan bahwa sejak perikatan/kontrak dilahirkan, objek kontrak tersebut menjadi tanggungan pihak kreditur, kecuali terdapat kelalaian dari pihak debitur[9] dan dalam pasal  1460 KUH Perdata juga disampaikan bahwa resiko ditanggung oleh pembeli walaupun serah terima belum dilaksanakan[10].
            Namun berbeda dengan ketiga pasal tersebut, pada pasal-pasal yang lain dalam kontrak yang berbeda, seperti pada kontrak tukar-menukar barang pada pasal 1545 KUH Perdata menyatakan bahwa jika suatu objek kontrak musnah diluar salah pemiliknya, maka kontrak dianggap gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi prestasi, dapat menuntut kembali barangnya[11]. Begitu juga halnya dalam kontrak sewa-menyewa pada pasal 1553 KUH Perdata yang menyatakan bahwa jika barang yang disewa musnah tanpa tindak yang disengaja maka kontrak sewa-menyewa tersebut dianggap gugur demi hukum[12].
            Tampaknya, peraturan force majeur dalam KUH Perdata terkesan tidak konsisten, perbedaan kontrak dapat mempengaruhi siapa yang akan menanggung resiko. Seakan-akan, KUH Perdata tidak mempunyai standar khusus dalam menentukan siapa yang menanggung resiko dari kedua belah pihak. Hal ini juga merupakan salah satu pembeda antara force majeur dan al-Jaihah. Karena didalam ketentuan berlakunya al-Jaihah para ulama sepakat bahwa al-Jaihah berlaku apabila belum terjadi serah terima diantara kedua belah pihak[13].
Selain itu, adanya bunga atas debitur yang lalai dalam ketentuan force majeur pada pasal 1244 KUH Perdata[14] sama sekali tidak sesuai dengan semangat ekonomi syari’ah. Penerapan bunga pada keterlambatan pembayaran debitur dikarenakan hal-hal yang tidak dapat dikatagorikan sebagai force majeur setelah pengembalian biaya dan ganti rugi juga merupakan perbedaan mendasar antara al-Jaihah dan force majeur.
            Dapat disimpulkan bahwa didalam al-Jaihah resiko ditanggung pihak debitur, sedangkan didalam force majeur resiko ditanggunng pihak kreditur, kecuali dalam pasal 1545 dan 1553. Dan dari pengecualian itu, dapat dilihat KUH Perdata tidak mempunyai standar khusus atas siapa yang akan menanggung resiko. Selain itu, diberlakukannya ganti rugi dan bunga sekaligus juga merupakan poin pembeda diantara keduanya. Dalam ulasan selanjutnya kita akan berusaha mendiskusikan kedua hal ini dengan berangkat dari perbedaan keduanya agar kita dapat mencapai kesimpulan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Discussion
            Setelah membandingkan kedua ketentuan hukum tentang keadaan memaksa diatas, yaitu force majeur dan al-Jaihah. Dapat dilihat keduanya memiliki perbedaan dari segi sumbernya yang tentunya akan melahirkan ketentuan penerapan yang berbeda pula. Namun keduanya memiliki kemiripan bahwa keduanya merupakan  bentuk dari tindakan darurat atas suatu kontrak jika terjadi keadaan darurat yang memaksa. Jika ditelaah lebih lanjut dapat kita katakan bahwa keduanya bermuara pada keinginan agar terciptanya keadilan bagi semua pihak. Untuk itu maka penting bagi kita untuk menilai sudut pandang yang dibawa oleh keduanya.





            Hukum perdata di Indonesia merupakan hukum warisan penjajahan Belanda, ia berasal dari BW (Burgelijke Wetboek),  konsep BW sendiri berasal dari Code Napoleon buatan Prancis yang konsepnya sebenarnya berasal dari Kerajaan Romawi, yaitu Corpus Iuris Civilis. Hal tersebut dikarenakan adanya azas konkordasi. Azas konkordasi adalah azas yang berisikan bahwa ketentuan perundang-undangan negara penjajah berlaku pula dinegara yang dijajahnya[15]. Jadi dapat disimpulkan bahwa force marjeur yang bersumber dari KUH merupakan produk perundang-undangan yang dahulunya dibawa oleh penjajah.
            KUH Perdata dalam kontrak-kontrak tertentu seperti piutang, IMBT dan kredit misalkan, maka pihak debitur tidak bertanggungjawab apabila terjadi force majeur yang jika hal ini merupakan penundaan pembayaran prestasi kepada kreditur maka apa yang menjadi sudut pandang KUH Perdata pada pasal 1244 dan 1237 KUH Perdata telah sesuai dengan prinsip Islam yang tertuang dalam ayat :
 وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ
Artinya : “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan” (Q.S Al-Baqarah : 280)
            Namun jika yang terjadi dalam force majeur adalah musnahnya suatua objek kontrak, maka yang menjadi sudut pandang KUH Perdata pasal 1244 dan 1237, bahwa pihak debitur tidak bertanggungjawab dan pasal 1444 KUH Perdata[16] terhapusnya perikatan jika objek barang itu musnah atau hilang diluar kesalahan debitur. Tidak dapat dianggap sesuai dengan prinsip Islam, karena objek tersebut pada dasarnya sudah beralih tangan kepada debitur, maka segala sesuatu yang terkait atas kehilangan akan menjadi resiko debitur. Sedangkan kreditur tetap berhak mendapatkan prestasinya. 
            Sedangkan pasal 1460 KUH Perdata yang menyatakan bahwa resiko ditanggung pembeli walaupun belum terjadi serah terima, dianggap sebagai suatu kekeliruan yang disebabkan oleh diadopsinya undang-undang BW (Burgelijke Wetboek) sebagai undang-undang perdata Indonesia. Pembatalan ini disampaikan oleh Mahkamah Agung melalui surat edaran no.3 tahun 1963[17]. Jadi disini, penyerahan dianggap sebagai tolak ukur dalam peralihan resiko. Namun sayangnya dalam pembahasan sebelumnya, tolak ukur ini tidaklah berlaku.
            Sedangkan pasal 1545 yang menyatakan bahwa pada kontrak tukar-menukar barang, jika suatu objek kontrak musnah diluar salah pemiliknya, maka kontrak dianggap gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi prestasi, dapat menuntut kembali barangnya.  Hal ini mempunyai kesamaan dengan kasus al-Jaihah pada buah-buahan, dimana salah satu pihak sudah memenuhi prestasi dan dikembalikan karena salah satu objek kontrak musnah. Sedang pasal 1553 yang menyatakan bahwa jika objek sewa musnah maka kontrak menjadi batal. Haruslah melihat pada pemanfaatannya, jika ia musnah setelah dimanfaatkan dua bulan maka seharusnya kontrak dibatalkan pada bulan setelah pemanfaatan.
            Esensi dari al-Jaihah pada dasarnya bukanlah terletak pada debitur yang bertanggungjawab, sebagaimana yang ditunjukkan oleh tekstual hadist, melainkan terletak pada siapakah yang seharusnya menanggung resiko atas musnahnya suatu objek, dan seperti yang kita tahu, bahwa resiko beralih apabila telah terjadi penyerahan objek kontrak. Maka dengan beralihnya kepemilikan suatu objek maka beralih pula resikonya.  Selain itu, unsur-unsur luar yang dapat mempengaruhi kehalalan sesuatu haruslah dihilangkan yang dalam hal ini adalah bunga  atas debitur yang terlambat melakukan pembayaran prestasi.
            Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa force marjeur dalam KUH Perdata haruslah berdasarkan peralihan resiko, yang merupakan esensi dari al-Jaihah. Selain itu, dalam kontrak kredit, IMBT dan piutang, tidak dapat terpenuhinya prestasi dalam janka waktu tertentu dikarenakan force marjeur, maka dalam hal ini kreditur haruslah memberikan tenggat waktu yang memadai, namun apabila objek kontrak musnah, maka hal ini menjadi tanggungjawab debitur, karena sudah terjadi peralihan kepemilikan. Penerapan bunga pada debitur yang tidak terbukti force marjeur haruslah dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prinsip dasar Islam.


[1] Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, (Jakarta: National Legal Reform Program, 2010), hlm 72
[2] Darly John Rasuh, Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata, Vol.IV/No.2/Feb/2016.
[3] Ibid
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,  Juz 3, (Kairo: Dar al-Fath, 1999), hlm 109.
[5] Muslim Ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, 2008), hlm 1190
[6] Ibid
[7] Nazzar Ahmad Isa, Atsar ‘Udzr Wa Al-Jaihah Fii Aqdai Al-Ba’I wa Al-Ijarah Wa Ma Yuqabiluhama Fi Al-Qanun Al-Madani, Tesis fiqh Islam dan Tasyri’, Universitas An-Najah Al-Wathaniyah, hlm 57
[8] Rahmat S.S. Soemadipradja, Op.Cit, hlm 51
[9] KUH Perdata Pasal 1237
[10] KUH Perdata, Pasal 1460
[11] KUH Perdata Pasal 1545
[12] KUH Perdata Pasal 1553
[13] Nazzar Ahmad Isa, Op.Cit, hlm 56
[14] KUH Perdata Pasal 1244
[15] http://www.suduthukum.com/2015/08/sejarah-kuh-perdata-bw.html
[16] KUH Perdata Pasal 1444
[17] Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963

No comments: