Secara garis besar kegiatan berekonomi merupakan fitrah manusia,
sekaligus merupakan unsur utama terbentuknya suatu komunitas masyarakat yang
kuat.
Maka tidak heran Islam sebagai agama yang sempurna memiliki kepentingan
dalam mengatur ekonomi umatnya demi mewujudkan system perekonomian yang bebas
dari tindak kedzoliman, dalam hal ini Allah SWT berfirman :
لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Dalam perkembangannya, terdapat banyak permasalahan yang sejatinya
didalam literatur fiqh klasik belum banyak diperbincangkan, salah satunya
adalah permasalahan force majeure.
Dalam KUH Perdata terdapat beberapa pasal yang
mengatur tentang force majeure, diantaranya yaitu pasal 1244 dan 1245
KUH Perdata. Didalam kedua pasal tersebut dipahami bahwa force majeure adalah suatu keadaan dimana tidak
terlaksananya apa yang diperjanjikan karena hal-hal yang sama sekali tidak
dapat diduga, dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau
peristiwa yang timbul diluar dugaan tersebut[1].
Diantara keadaan yang dapat dikatagorikan force majeure adalah seperti
terjadinya perang, bencana alam (act of god), hilangnya objek yang
diperjanjikan dan tindakan administratif penguasa[2].
Sesuai dengan KUH Perdata diatas, maka suatu
peristiwa dapat dikatakan force maejur apabila terdapat 3 (tiga) unsur,
yaitu : (1) Tidak terpenuhi prestasi. (2) Ada sebab yang terletak diluar
kesalahan debitur. (3) Penyebab tersebut tidak dapat diduga dan
dipertanggungjawabakan oleh debitur. Jika terjadi force maejur dengan
terpenuhinya unsur pertama dan ketiga maka force majeur ini disebut
absolut overmacht atau keadaan memaksa yang berdasarkan ketidakmungkinan
(impossibility). Namun, jika yang terpenuhi adalah unsur kedua dan
ketiga, maka force majeur ini disebut relative overmacht, atau
keadaan memaksa yang bersifat subyektif[3].
Sementara itu, didalam literature fiqh
klasik, terdapat sebuah ketentuan hukum yang hampir menyerupai force majeur.
Ketentuan ini biasa disebut dengan al-Jaihah, yaitu suatu keadaan dimana
telah terjadi akad salam terhadap petani buah dan pembeli, keduanya
sepakat bahwa jika buah-buahan tersebut telah siap panen maka petani
menyerahkannya kepada pembeli sesuai dengan harga yang telah diterima oleh
petani ketika hanya nampak beberapa buah yang matang, namun terjadi suatu
bencana diluar kekuasaan keduanya yang memaksa petani tidak dapat menyerahkan
hasil panennya, keadaan ini disebut al-Jaihah[4].
Sejatinya al-Jaihah dalam penerapannya tidaklah terbatas pada akad
salam, melainkan dapat diqiaskan kepada beberapa akad, diantaranya ijarah,
ba’i murabahah, isthisna’ dan sebagainya. Penerapan al-Jaihah dalam jual beli buah-buahan dalam akad
salam pada dasarnya diambil dari hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
لَوْ
بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا، فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ، فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ
تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟
Artinya : “ Jika engkau menjual buah kepada
saudaramu, lalu terkena bencana, maka tidak halal bagimu mengambil sesuatu pun
darinya. Dengan (imbalan) apa engkau mengambil harta saudaramu dengan tanpa
hak? [5]”
Hadist
diatas merupakan dasar dari hukum al-Jaihah. Para ulama berpendapat
bahwa al-Jaihah wajib diterapkan, karena buah-buahan tersebut masihlah
dimiliki oleh petani buah dan belum berpindah tangan kepada pembeli, begitu
pula jika tidak diterapkan maka petani buah dianggap telah memakan harta yang
bukan haknya. Selain itu, terdapat sebagai penguat hadist diatas terdapat
riwayat lain yang berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ أَمَرَ بِوَضْعِ
الجَوَائِح
Jadi
dapat dikatakan bahwa al-Jaihah dan force majeur keduanya adalah merupakan
bentuk dari tindakan darurat atas suatu kontrak jika terjadi keadaan darurat
yang memaksa. Pada tahapan berikutnya, adalah
membandingkan (Comparison) letak
perbedaan antara force majeur dan al-Jaihah.
Comparison
Force majeur dan al-Jaihah, seperti yang dijelaskan diatas, merupakan dua
ketentuan yang mempunyai maksud sama, yaitu suatu bentuk dari tindakan darurat
atas suatu kontrak jika terjadi
keadaan darurat yang memakasa. Namun disamping
kesamaan tersebut, ada perbedaan mendasar dari keduanya, yaitu terkait dengan
tanggungan resiko. Siapakah yang akan menanggung resiko? Pihak kreditur yang
sudah membayar dimuka, ataukah pihak debitur yang berjanji akan menyerahkan
prestasinya? Hal inilah yang akan
menjadi bahasan kita pada pragraf-pragraf selanjutnya.
Didalam al-Jaihah
jika terjadi suatu kejadian yang disebabkan oleh langit atau disebabkan oleh
campur tangan manusia, maka pihak debitur yang dalam hal ini adalah penjual
buah, menanggung kerugiannya. Sedangkan pihak kreditur yang merupakan pembeli
akan mendapatkan uangnya kembali. Hal ini dikarenakan pihak kreditur sama
sekali tidak mendapatkan timbal balik dari uang yang ia keluarkan, selain itu
dalam hal ini pihak kreditur belum melakukan serah terima dengan pihak debitur
sehingga resiko masih berada ditangan debitur. Maka sudah sewajarnya jika pihak
debiturlah yang menanggung kerugian.
Didalam
Islam, serah terima merupakan unsur utama dalam perpindahan resiko, sedangkan
dalam permasalahan ini, belumlah terjadi serah terima yang berdampak pada
peralihan resiko, dikarenakan debitur atau petani buah tetap harus merawat
tanamannya sampai waktu yang ditentukan. Tetapi, dengan ditanda-tangani nya
kontrak dan telah diserahkannya pembayaran sebenarnya telah terjadi serah
terima, namun serah terima ini dapat dikatagorikan sebagai serah terima yang
berdampak pada bolehnya pemanfaatan, bukan serah terima yang berdampak pada
peralihan resiko[7].
Namun
didalam pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata kita temui debitur tidak dapat
dimintai pertanggung jawaban dan tidak dapat dianggap wanprestasi. Kewajiban
debitur untuk menunaikan prestasi telah gugur sehingga kreditur tidak berhak
lagi menuntutnya[8].
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1237 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa sejak perikatan/kontrak dilahirkan, objek kontrak tersebut menjadi
tanggungan pihak kreditur, kecuali terdapat kelalaian dari pihak debitur[9]
dan dalam pasal 1460 KUH Perdata juga
disampaikan bahwa resiko ditanggung oleh pembeli walaupun serah terima belum
dilaksanakan[10].
Namun
berbeda dengan ketiga pasal tersebut, pada pasal-pasal yang lain dalam kontrak
yang berbeda, seperti pada kontrak tukar-menukar barang pada pasal 1545 KUH
Perdata menyatakan bahwa jika suatu objek kontrak musnah diluar salah
pemiliknya, maka kontrak dianggap gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah
memenuhi prestasi, dapat menuntut kembali barangnya[11].
Begitu juga halnya dalam kontrak sewa-menyewa pada pasal 1553 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa jika barang yang disewa musnah tanpa tindak yang disengaja
maka kontrak sewa-menyewa tersebut dianggap gugur demi hukum[12].
Tampaknya,
peraturan force majeur dalam KUH Perdata terkesan tidak konsisten, perbedaan kontrak dapat
mempengaruhi siapa yang akan menanggung resiko. Seakan-akan, KUH Perdata tidak
mempunyai standar khusus dalam menentukan siapa yang menanggung resiko dari
kedua belah pihak. Hal ini juga merupakan salah satu pembeda antara force majeur dan al-Jaihah. Karena didalam
ketentuan berlakunya al-Jaihah para ulama sepakat bahwa al-Jaihah berlaku apabila belum
terjadi serah terima diantara kedua belah pihak[13].
Selain itu, adanya bunga atas
debitur yang lalai dalam ketentuan force majeur pada pasal 1244 KUH Perdata[14]
sama sekali tidak sesuai dengan semangat ekonomi syari’ah. Penerapan bunga pada
keterlambatan pembayaran debitur dikarenakan hal-hal yang tidak dapat
dikatagorikan sebagai force majeur setelah pengembalian biaya dan ganti rugi juga
merupakan perbedaan mendasar antara al-Jaihah dan force majeur.
Dapat
disimpulkan bahwa didalam al-Jaihah resiko ditanggung pihak debitur, sedangkan
didalam force majeur resiko ditanggunng pihak kreditur, kecuali dalam pasal 1545 dan 1553.
Dan dari pengecualian itu, dapat dilihat KUH Perdata tidak mempunyai standar
khusus atas siapa yang akan menanggung resiko. Selain itu, diberlakukannya
ganti rugi dan bunga sekaligus juga merupakan poin pembeda diantara keduanya. Dalam
ulasan selanjutnya kita akan berusaha mendiskusikan kedua hal ini dengan
berangkat dari perbedaan keduanya agar kita dapat mencapai kesimpulan ilmiah yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Discussion
Setelah membandingkan
kedua ketentuan hukum tentang keadaan memaksa diatas, yaitu force majeur dan al-Jaihah. Dapat dilihat keduanya
memiliki perbedaan dari segi sumbernya yang tentunya akan melahirkan ketentuan
penerapan yang berbeda pula. Namun keduanya memiliki kemiripan bahwa keduanya
merupakan bentuk dari tindakan darurat
atas suatu kontrak jika terjadi keadaan darurat yang memaksa. Jika ditelaah
lebih lanjut dapat kita katakan bahwa keduanya bermuara pada keinginan agar
terciptanya keadilan bagi semua pihak. Untuk itu maka penting bagi kita untuk
menilai sudut pandang yang dibawa oleh keduanya.
Hukum perdata di
Indonesia merupakan hukum warisan penjajahan Belanda, ia berasal dari BW (Burgelijke Wetboek),
konsep BW sendiri berasal dari Code Napoleon buatan Prancis yang
konsepnya sebenarnya berasal dari Kerajaan Romawi, yaitu Corpus Iuris Civilis. Hal
tersebut dikarenakan adanya azas konkordasi. Azas konkordasi adalah azas yang
berisikan bahwa ketentuan perundang-undangan negara penjajah berlaku pula dinegara
yang dijajahnya[15].
Jadi dapat disimpulkan bahwa force marjeur yang bersumber
dari KUH merupakan produk perundang-undangan yang dahulunya dibawa oleh
penjajah.
KUH Perdata dalam kontrak-kontrak
tertentu seperti piutang, IMBT dan kredit misalkan, maka pihak debitur tidak
bertanggungjawab apabila terjadi force majeur yang jika hal ini
merupakan penundaan pembayaran prestasi kepada kreditur maka apa yang menjadi
sudut pandang KUH Perdata pada pasal 1244 dan 1237 KUH Perdata telah sesuai
dengan prinsip Islam yang tertuang dalam ayat :
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ
Artinya
: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan” (Q.S Al-Baqarah : 280)
Namun jika yang terjadi dalam force
majeur adalah musnahnya suatua objek kontrak, maka yang menjadi sudut
pandang KUH Perdata pasal 1244 dan 1237, bahwa pihak debitur tidak
bertanggungjawab dan pasal 1444 KUH Perdata[16] terhapusnya perikatan jika objek barang itu musnah atau hilang diluar
kesalahan debitur. Tidak dapat dianggap sesuai dengan prinsip Islam, karena
objek tersebut pada dasarnya sudah beralih tangan kepada debitur, maka segala
sesuatu yang terkait atas kehilangan akan menjadi resiko debitur. Sedangkan
kreditur tetap berhak mendapatkan prestasinya.
Sedangkan pasal 1460 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa resiko ditanggung pembeli walaupun belum terjadi serah
terima, dianggap sebagai suatu kekeliruan yang disebabkan oleh diadopsinya
undang-undang BW (Burgelijke Wetboek) sebagai undang-undang perdata Indonesia.
Pembatalan ini disampaikan oleh Mahkamah Agung melalui surat edaran no.3 tahun
1963[17]. Jadi disini, penyerahan dianggap sebagai tolak ukur dalam
peralihan resiko. Namun sayangnya dalam pembahasan sebelumnya, tolak ukur ini
tidaklah berlaku.
Sedangkan pasal 1545 yang menyatakan bahwa
pada kontrak tukar-menukar barang, jika suatu objek kontrak musnah diluar salah
pemiliknya, maka kontrak dianggap gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah
memenuhi prestasi, dapat menuntut kembali barangnya. Hal ini mempunyai kesamaan dengan kasus al-Jaihah pada buah-buahan, dimana
salah satu pihak sudah memenuhi prestasi dan dikembalikan karena salah satu
objek kontrak musnah. Sedang pasal 1553 yang menyatakan bahwa jika objek sewa
musnah maka kontrak menjadi batal. Haruslah melihat pada pemanfaatannya, jika
ia musnah setelah dimanfaatkan dua bulan maka seharusnya kontrak dibatalkan
pada bulan setelah pemanfaatan.
Esensi dari al-Jaihah pada
dasarnya bukanlah terletak pada debitur yang bertanggungjawab, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh tekstual hadist, melainkan terletak pada siapakah yang
seharusnya menanggung resiko atas musnahnya suatu objek, dan seperti yang kita
tahu, bahwa resiko beralih apabila telah terjadi penyerahan objek kontrak. Maka
dengan beralihnya kepemilikan suatu objek maka beralih pula resikonya. Selain itu, unsur-unsur luar yang dapat
mempengaruhi kehalalan sesuatu haruslah dihilangkan yang dalam hal ini adalah
bunga atas debitur yang terlambat
melakukan pembayaran prestasi.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah
bahwa force marjeur dalam KUH Perdata haruslah berdasarkan peralihan
resiko, yang merupakan esensi dari al-Jaihah. Selain itu, dalam kontrak
kredit, IMBT dan piutang, tidak dapat terpenuhinya prestasi dalam janka waktu
tertentu dikarenakan force marjeur, maka dalam hal ini kreditur haruslah
memberikan tenggat waktu yang memadai, namun apabila objek kontrak musnah, maka
hal ini menjadi tanggungjawab debitur, karena sudah terjadi peralihan
kepemilikan. Penerapan bunga pada debitur yang tidak terbukti force marjeur
haruslah dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prinsip dasar Islam.
[1] Rahmat
S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, (Jakarta:
National Legal Reform Program, 2010), hlm 72
[2]
Darly John
Rasuh, Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 dan
Pasal 1245 KUH Perdata, Vol.IV/No.2/Feb/2016.
[3]
Ibid
[4]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz
3, (Kairo: Dar al-Fath, 1999), hlm 109.
[6]
Ibid
[7]
Nazzar Ahmad
Isa, Atsar ‘Udzr Wa Al-Jaihah Fii Aqdai Al-Ba’I wa Al-Ijarah Wa Ma Yuqabiluhama
Fi Al-Qanun Al-Madani, Tesis fiqh Islam dan Tasyri’, Universitas An-Najah
Al-Wathaniyah, hlm 57
[8]
Rahmat S.S. Soemadipradja, Op.Cit, hlm 51
[9]
KUH Perdata
Pasal 1237
[10] KUH Perdata,
Pasal 1460
[11] KUH Perdata
Pasal 1545
[12] KUH Perdata
Pasal 1553
[13]
Nazzar Ahmad
Isa, Op.Cit, hlm 56
[14]
KUH Perdata
Pasal 1244
[15]
http://www.suduthukum.com/2015/08/sejarah-kuh-perdata-bw.html
[16] KUH Perdata
Pasal 1444
[17] Surat Edaran
Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963
No comments:
Post a Comment