Thursday, February 23, 2017

ISTIHSAN SEBAGAI DALIL SYAR'I (STUDI KONVERATIF TERHADAP PANDANGAN ULAMA) PART 3









Terjadi perbedaan dikalangan ulama dalam penerapan istihsan sebagai dallil, perbedaan ini antara jumhur ulama, baik itu Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah dengan imam as-Syafi’i. Didalam ar-Risalah, imam Syafi’I mengatakan dengan jelas bahwa beliau menolak istihsan, diantara perkataan yang dinisbahkan kepada beliau adalah :
من استحسن فقد شرع[1]
Barang siapa yang berdalil dengan istihsan, maka ia telah membuat syari’at (hukum)”
       Namun sayangnya, penulis tidak menemukan perkataan yang dinisbahkan kepada imam Syafi’I tersebut didalam kitabnya ar-Risalah, tapi kita dapat menemukannya didalam al-Musthashfa karya imam al-Gazali (w : 505 H)[2].

       Didalam ar-Risalah kita dapat temukan banyak sekali pernyataan imam as-Syafi’I terkait istihsan, diantaranya beliau berkata :
 إنما الاستحسان تلذذ[3]
Istihsan itu tidak lain hanyalah untuk bersenang-senang”
       Namun jika kita lihat lebih jauh, istihsan yang diharamkan oleh imam as-Syafi’I bukanlah istihsan yang dibicarakan oleh para fuqaha. Imam as-Syafi’i mengharamkan istihsan, yaitu menganggap baik suatu perbuatan tanpa adanya dasar dari khabar ataupun qiyas, imam as-Syafi’i menyatakan:
قال : هذا كما قلت، والاجتهاد لايكون إلا على مطلوب، والمطلوب لا يكون أبدا إلا على عين قائمة تطلب بدلالة  يقصد بها إليها، أوتشبيه على عين قائمة، وهذا يبين أن حراما على أحد أن يقول بالاستحسان[4]..
Ia berkata: Ini seperti apa yang engkau katakan, dan ijtihad sejatinya tidak mungkin kecuali atas sesuatu yang diinginkan dari ijtihad (hukum), sedangkan hukum tidak mungkin kecuali didasarkan kepada sesuatu yang tetap (dalil) yang menuntut dengan petunjuk yang dimaksudkan dengannya kepadanya ( dalil tersebut memang ditunjukkan untuk hukum tersebut), atau dengan menganalogikan atas sesuatu yang tetap (qiyas), Dan ini menjelaskan bahwasanya haram bagi seseorang (menyatakan suatu hukum) dengan istihsan”
       Selain itu, imam al-Gazali didalam musthasfa menyatakan bahwa istihsan yang dimaksud oleh para fuqaha tidaklah dipungkuri keabsahannya oleh seluruh ulama, beliau berkata ketika menjelaskan ta’wil ketiga dari makna istihsan :
  وهذا مما لا ينكر، وإنما يرجع الاستنكار إلى اللفظ، وتخصيص هذا النوع من الدليل بتسميته استحسانا من بين سائر الأدلة[5].
Dan ini dari hal-hal yang tidak dapat  diinkari, tetapi pengingkaran sejatinya kembali kepada penggunaan kata istihsan untuk menyebut dalil ini dari semua dalil”
       Menurut pernyataan imam al-Gazali diatas, hal ini hanyalah perbedaan pemakain istilah saja, tanpa mengingkari substansi dari istihsan, ia cendrung tidak setuju dengan lebel istihsan pada jenis dalil ini, begitu juga dengan para ulama Syafi’iyah lainnya. Namun pada dasarnya, perselisihan terhadap istilah bukanlah sesuatu yang penting.
       Yang menjadi pertanyaan, kenapa imam Syafi’i menyatakan sesuatu yang sebenarnya bukanlah yang dimaksud oleh para fuqaha? Pada dasarnya pernyataan itu bukan untuk mengomentari istihsan yang dimaksud oleh para fuqaha melainkan untuk memerangi mereka yang dengan mudahnya berkata-kata tentang suatu hukum dengan akal mereka tanpa adanya hujjah dan dalil[6].
       Jika demikian, perselisihan juga terjadi pada meninggalkan suatu dalil dengan alasan penerapannya bertentangan dengan kebiasaan, namun jika yang dimaksud adalah kebiasaan yang disepakati oleh umat dari golongan ahlu al-hill wa al-aqdi/ ahlu an-nazhar, maka hal ini dapat dibenarkan menurut al-Amidi. Namun apabila yang dimaksud adalah kebiasaan awam, maka meninggalkan dalil dalam hal ini dilarang[7].
       Pada dasarnya apa yang dikatakan al-Amidi diatas, apabila yang dimaksud adalah ijma’, sedangkan ijma’ sejatinya juga adalah dalil. Maka dengan begitu, jika ada pertentangan antara dalil dan ijma’, maka dilakukan istihsan dengan meninggalkan dalil dan menerapkan ijma’. Namun apabila yang dimaksud bukanlah ijma’ maka hal ini tidaklah dibenarkan, mengingat didalam istihsan dalil kedua haruslah lebih kuat dari dalil pertama, sedangkan ittifaq sebagian ulama terhadap suatu kebiasaan bukanlah dalil.
Begitu juga halnya dengan meninggalkan qiyas yang jelas demi kemaslahatan, atau dengan asas keadilan, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama terkait permasalahan ini, sebagian mereka membenarkan istihsan dengan menggunakan maslahah, dikarenakan pada dasarnya hal ini tidak bertentangan dengan ruh at-tasyri’ seperti mencegah mafsadah dan menghilangkan masyaqqah. Hal ini senada dengan firman Allah SWT:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ[8]
Allah SWT menginginkan kemudahan bagi kalian, dan Ia tidak menginginkan kesukaran terhadap kalian”
       Sedangkan ulama yang tidak memperbolehkannya menyatakan bahwa sejatinya mereka tidak mengingkari akan adanya ruh at-tasyri’ dan beberapa qaidah ‘ammah yang disampaikan, namun tidak ada satu dalilpun yang memperbolehkan kita meninggalkan qiyas ataupun dalil lainnya demi kaidah-kaidah tersebut. Begitu juga beberapa rukhsah yang ada didalam syari’at kita sejatinya datang setelah azimah, dan tidak dibenarkan bagi setiap orang dengan dalih kaidah tersebut membuat keringanan tersendiri dengan dalih istihsan[9].
Perbedaan diatas didasarkan pada meninggalkan dalil dikarenakan bertentangan dengan adat atau ittifaq ahl an-nadzar, lantas bagaimanakah perselisihan ulama terkait bahwasanya qiyas yang kemudian ditinggalkan dikarenakan adanya istihsan, sedang dalam sebagian hukumnya qiyas tersebut masih diterapkan, atau dengan kata lain terdapat pengecualian atau pembatalan terhadap sebagian hukum qiyas, tetapi masih berlaku disebagian yang lain?[10] Untuk hal ini, penulis tidak menuliskan penjelasannya, dikarenakan perbedaan ini, walaupun ada keterkaitan dengan istihsan, tetapi ia sejatinya mempunyai judul tersendiri, para ushuli biasa menyebutnya dengan takhsis illah, dan sejatinya mempunyai keterkaitan yang lebih dalam pada bab qiyas.


[1] Muhammad bin Muhammad, Op.cit, Juz 2, hal 467
[2] Ibid
[3] Muhammad bin Idris, Ar-Risalah, Tahqiq : Ahmad Syakir, (Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah) hal 507
[4] Ibid, hal 503
[5] Muhammad bin Muhammad, Op.cit, Juz 2, hal 476
[6] Ahmad Nahrawi Abdussalam, Imam asy-Syafi’I fi Madzhabihi al-Qadim wa al-Jadid, Cet : 2, 1994 M, hal 423
[7] Ali bin Muhammad, Op.cit, juz 4 hal 194
[8] Al-Baqarah : 185
[9] Ahmad Nahrawi Abdussalam, Op.cit, hal 419
[10] Muhammad bin Umar, Al-Mahsul fi ‘Ilmi al-Ushul, Tahqiq : Jababir Fayyadh, (Damaskus : Mu’assasah ar-Risalah), Juz 6 hal 127

No comments: