Monday, February 27, 2017

Ba'i al-'Inah dan Tawaruq Munadzom



Landasan diharamkannya ba’i al-‘Inah adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad, dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah SAW bersabda :
إذا  ضن الناس بالدينار والدرهام، وتبايعوا بالعينة، واتبعوا أذناب البقر، وتركوا الجهاد في سبيل الله، أنزل الله بهم بلاء، فلا يرفعه حتى يرجعوا دينهم.
Artinya : “Apabila manusia kikir dengan dinar dan dirham, melakukan jual-beli ‘inah, mengikuti ekor sapi (sibuk bertani) dan meninggalkan jihad fi sabilillah, maka Allah SWT akan menurunkan bala dan tidak akan mengangkatnya kembali kecuali (mereka) kembali kepada (ajaran) agama mereka”

Hadist diatas dengan explisit menyatakan bahwa transaksi ‘inah adalah salah satu penyebab dari murka Allah SWT, untuk itu, segala yang menyebabkan murka Allah SWT hukumnya adalah haram.
Akan tetapi, apakah yang dimaksud dengan ba’i al-‘Inah tersebut ? Menurut para ulama, ba’i al-‘Inah adalah jual-beli antara dua orang, yang mana penjual menjual barang kepada pembeli dengan tidak tunai dengan syarat pembeli harus menjual lagi kepada penjual dengan tunai dengan harga yang lebih rendah.
Misal, Ahmad menjual kepada Taslim sebuah mobil seharga 100 jt secara kredit selama 3 bulan, dengan syarat Taslim menjual kembali mobil tersebut dengan harga 90 jt secara tunai kepada Ahmad, Ahmad pun lantas menyerahkan uang sebesar 90 juta kepada Taslim sebagai harga dari mobil tersebut secara tunai, Taslim menerima uang tersebut dari Ahmad dan berkewajiban mengembalikan uang 100 juta  sesuai kesepakatan pada jual beli pertama setelah 3 bulan.
Dari contoh diatas diketahui bahwa sejatinya Taslim tidak membutuhkan barang, melainkan uang sebesar 90 juta dengan bunga 10 juta dari Ahmad, sedangkan Ahmad sejatinya tidak membutuhkan uang 100 juta dari Taslim, melainkan mencari keuntungan 10 juta dari hutang 90 juta yang dipinjam oleh Taslim. Dengan demikian, ba’i al-‘Inah merupakan cara seseorang lepas dari hukum riba qardh, namun pada dasarnya ia jatuh kepada riba qardh.

Ketentuan Hukum Tawaruq Munadzhom (regulated) /Mashrifi
Ba’i al-‘inah dalam konteks diatas sangat jarang terjadi dalam masyarakat maupun dunia bisnis dan perbankan. Namun yang sering menjadi sorotan adalah apa yang disebut sebagai Tawaruq Munadzhom (regulated) /Mashrifi, sedangkan saya pribadi lebih suka menyebutnya sebagai bai’i al-‘inah versi perbankan, supaya tidak terjadi kebingungan ketika membedakan antara tawaruq fiqhi dan tawaruq munadzom. Kenapa saya mengatakan tawaruq mashrifi adalah ba’i al-‘Inah versi perbankan? Untuk menjawabnya, mari kita simak fatwa AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institations) :
قيام المصرف بعمل نمطي يتم فيه ترتيب بيع سلعة (ليست من الذهب والفضة) من أسواق السلع العالمية أو غيرها، على المستورق بثمن آجل، على يلتزم المصرف – إما بشرط في العقد أو بحكم العرف والعادة – بأن ينوب عنه في بيعها على مشتر آخر بثمن حاضر وتسليم ثمنها للمستوورق
Sebuah perbankan menjual komoditas (selain emas atau perak) dari pasar komoditas internasional atau yang lainnya pada pembeli dengan harga tidak tunai, dengan syarat bank tersebut berkewajiban –baik karena disyaratkan dalam akad, atau karena kebiasaan (‘urf)- mewakili pembelian untuk menjualnya kembali kepada pembeli lain dengan harga tunai dan menyerahkannya kepada pembeli pertama”
Bagaimanakah mekanisme tawaruq munadzhom ini ? Berikut contoh tahapan-tahapan transaksi tawaruq munadzom :
1) Bank Syari’ah Mandiri (BSM) yang kekurangan likuiditas mengajukan pembiayaan sebesar 1 Milyar kepada Bank Negara Indonesia Syari’ah (BNI) untuk dibelikan barang tertentu dikarenakan permintaan dari Bank Mu’amalat, dengan ketentuan BNI Syari’ah harus menjual barang tersebut kepada Bank Mu’amalat secara tunai dengan harga 900 juta sebagai wakil dari BSM.
2) BNI Syari’ah membeli barang dari pasar komoditas seharga jumlah nominal yang dibutuhkan oleh BSM ( 1 Milyar)
3) BNI Syari’ah menjual barang tersebut kepada BSM secara tidak tunai dengan akad murabah, dengan demikian BSM mempunyai hutang kepada BNI Syari’ah sebesar 1 Milyar
4) BSM mewakilkan kepada BNI Syari’ah untuk menjualkan barang tersebut kepada Bank Mu’amalat secara tunai sesuai dengan perjanjian diawal kontrak dengan harga 900 juta.
5) BNI Syari’ah menjual barang tersebut kepada Bank Mu’amalat dengan harga tunai 900 juta.
6) BNI Syari’ah menyerahkan uang 900 juta kepada BSM sebagai harga dari barang yang dijual kepada Bank Mu’amalat.
7) BSM mempunyai hutang kepada BNI Syari’ah sebesar 1 Milyar rupiah sesuai dengan harga komoditas.
            Begitulah sehingga jika diamati tidak terjadi perbedaan antara tawaruq munadzhom dan ba’i al-‘inah, melainkan hanya pada jumlah pihak-pihak yang bertransaksi, dan varian akad yang digunakan, yaitu penambahan akad wakalah, selebihnya tidak ada perbedaan antara keduanya.
            Kendati demikian, para ulama melalui forum-forum ijtihad kolektif seperti AAOIFI membolehkan perbankan syari’ah menggunakan tawaruq munadzom demi memenuhi kebutuhan akan kekurangan likuiditas dan tidak boleh menggunakannya sebagai mobilisasi dana.

No comments: