Landasan
diharamkannya ba’i al-‘Inah adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam Musnad, dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah SAW bersabda :
إذا ضن الناس بالدينار والدرهام، وتبايعوا بالعينة،
واتبعوا أذناب البقر، وتركوا الجهاد في سبيل الله، أنزل الله بهم بلاء، فلا يرفعه
حتى يرجعوا دينهم.
Artinya : “Apabila manusia kikir dengan dinar dan dirham,
melakukan jual-beli ‘inah, mengikuti ekor sapi (sibuk bertani) dan meninggalkan
jihad fi sabilillah, maka Allah SWT akan menurunkan bala dan tidak akan
mengangkatnya kembali kecuali (mereka) kembali kepada (ajaran) agama mereka”
Hadist diatas
dengan explisit menyatakan bahwa transaksi ‘inah adalah salah satu
penyebab dari murka Allah SWT, untuk itu, segala yang menyebabkan murka Allah
SWT hukumnya adalah haram.
Akan tetapi,
apakah yang dimaksud dengan ba’i al-‘Inah tersebut ? Menurut para ulama,
ba’i al-‘Inah adalah jual-beli antara dua orang, yang mana penjual menjual
barang kepada pembeli dengan tidak tunai dengan syarat pembeli harus menjual
lagi kepada penjual dengan tunai dengan harga yang lebih rendah.
Misal, Ahmad
menjual kepada Taslim sebuah mobil seharga 100 jt secara kredit selama 3 bulan,
dengan syarat Taslim menjual kembali mobil tersebut dengan harga 90 jt secara
tunai kepada Ahmad, Ahmad pun lantas menyerahkan uang sebesar 90 juta kepada
Taslim sebagai harga dari mobil tersebut secara tunai, Taslim menerima uang
tersebut dari Ahmad dan berkewajiban mengembalikan uang 100 juta sesuai kesepakatan pada jual beli pertama setelah
3 bulan.
Dari contoh
diatas diketahui bahwa sejatinya Taslim tidak membutuhkan barang, melainkan
uang sebesar 90 juta dengan bunga 10 juta dari Ahmad, sedangkan Ahmad sejatinya
tidak membutuhkan uang 100 juta dari Taslim, melainkan mencari keuntungan 10
juta dari hutang 90 juta yang dipinjam oleh Taslim. Dengan demikian, ba’i
al-‘Inah merupakan cara seseorang lepas dari hukum riba qardh, namun
pada dasarnya ia jatuh kepada riba qardh.
Ketentuan Hukum Tawaruq Munadzhom
(regulated) /Mashrifi
Ba’i al-‘inah dalam konteks diatas sangat jarang terjadi dalam masyarakat maupun
dunia bisnis dan perbankan. Namun yang sering menjadi sorotan adalah apa yang
disebut sebagai Tawaruq Munadzhom (regulated) /Mashrifi, sedangkan
saya pribadi lebih suka menyebutnya sebagai bai’i al-‘inah versi
perbankan, supaya tidak terjadi kebingungan ketika membedakan antara tawaruq
fiqhi dan tawaruq munadzom. Kenapa saya mengatakan tawaruq
mashrifi adalah ba’i al-‘Inah versi perbankan? Untuk menjawabnya,
mari kita simak fatwa AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic
Financial Institations) :
قيام المصرف بعمل نمطي يتم فيه ترتيب بيع
سلعة (ليست من الذهب والفضة) من أسواق السلع العالمية أو غيرها، على المستورق بثمن
آجل، على يلتزم المصرف – إما بشرط في العقد أو بحكم العرف والعادة – بأن ينوب عنه
في بيعها على مشتر آخر بثمن حاضر وتسليم ثمنها للمستوورق
“Sebuah perbankan menjual
komoditas (selain emas atau perak) dari pasar komoditas internasional atau yang
lainnya pada pembeli dengan harga tidak tunai, dengan syarat bank tersebut
berkewajiban –baik karena disyaratkan dalam akad, atau karena kebiasaan (‘urf)-
mewakili pembelian untuk menjualnya kembali kepada pembeli lain dengan harga
tunai dan menyerahkannya kepada pembeli pertama”
Bagaimanakah mekanisme tawaruq
munadzhom ini ? Berikut contoh tahapan-tahapan transaksi tawaruq
munadzom :
1) Bank Syari’ah Mandiri
(BSM) yang kekurangan likuiditas mengajukan pembiayaan sebesar 1 Milyar kepada
Bank Negara Indonesia Syari’ah (BNI) untuk dibelikan barang tertentu
dikarenakan permintaan dari Bank Mu’amalat, dengan ketentuan BNI Syari’ah harus
menjual barang tersebut kepada Bank Mu’amalat secara tunai dengan harga 900
juta sebagai wakil dari BSM.
2) BNI Syari’ah membeli barang dari
pasar komoditas seharga jumlah nominal yang dibutuhkan oleh BSM ( 1 Milyar)
3) BNI Syari’ah menjual barang
tersebut kepada BSM secara tidak tunai dengan akad murabah, dengan
demikian BSM mempunyai hutang kepada BNI Syari’ah sebesar 1 Milyar
4) BSM mewakilkan kepada BNI
Syari’ah untuk menjualkan barang tersebut kepada Bank Mu’amalat secara tunai
sesuai dengan perjanjian diawal kontrak dengan harga 900 juta.
5) BNI Syari’ah menjual barang
tersebut kepada Bank Mu’amalat dengan harga tunai 900 juta.
6) BNI Syari’ah menyerahkan uang 900
juta kepada BSM sebagai harga dari barang yang dijual kepada Bank Mu’amalat.
7) BSM mempunyai hutang kepada BNI
Syari’ah sebesar 1 Milyar rupiah sesuai dengan harga komoditas.
Begitulah
sehingga jika diamati tidak terjadi perbedaan antara tawaruq munadzhom dan
ba’i al-‘inah, melainkan hanya pada jumlah pihak-pihak yang
bertransaksi, dan varian akad yang digunakan, yaitu penambahan akad wakalah,
selebihnya tidak ada perbedaan antara keduanya.
Kendati demikian,
para ulama melalui forum-forum ijtihad kolektif seperti AAOIFI membolehkan
perbankan syari’ah menggunakan tawaruq munadzom demi memenuhi kebutuhan
akan kekurangan likuiditas dan tidak boleh menggunakannya sebagai mobilisasi
dana.
No comments:
Post a Comment