من
استحسن فقد شرع[1]
Namun sayangnya, penulis tidak menemukan
perkataan yang dinisbahkan kepada imam Syafi’I tersebut didalam kitabnya
ar-Risalah, tapi kita dapat menemukannya didalam al-Musthashfa karya imam
al-Gazali (w : 505 H)[2].
Didalam ar-Risalah kita dapat temukan
banyak sekali pernyataan imam as-Syafi’I terkait istihsan, diantaranya beliau
berkata :
إنما
الاستحسان تلذذ[3]
“Istihsan itu tidak
lain hanyalah untuk bersenang-senang”
Namun jika kita lihat lebih jauh, istihsan
yang diharamkan oleh imam as-Syafi’I bukanlah istihsan yang dibicarakan
oleh para fuqaha. Imam as-Syafi’i mengharamkan istihsan, yaitu
menganggap baik suatu perbuatan tanpa adanya dasar dari khabar ataupun qiyas,
imam as-Syafi’i menyatakan:
قال
: هذا كما قلت، والاجتهاد لايكون إلا على مطلوب، والمطلوب لا يكون أبدا إلا على
عين قائمة تطلب بدلالة يقصد بها إليها،
أوتشبيه على عين قائمة، وهذا يبين أن حراما على أحد أن يقول بالاستحسان[4]..
“Ia berkata: Ini
seperti apa yang engkau katakan, dan ijtihad sejatinya tidak mungkin kecuali
atas sesuatu yang diinginkan dari ijtihad (hukum), sedangkan hukum tidak
mungkin kecuali didasarkan kepada sesuatu yang tetap (dalil) yang menuntut
dengan petunjuk yang dimaksudkan dengannya kepadanya ( dalil tersebut memang
ditunjukkan untuk hukum tersebut), atau dengan menganalogikan atas sesuatu yang
tetap (qiyas), Dan ini menjelaskan bahwasanya haram bagi seseorang (menyatakan
suatu hukum) dengan istihsan”
Selain itu, imam al-Gazali didalam
musthasfa menyatakan bahwa istihsan yang dimaksud oleh para fuqaha
tidaklah dipungkuri keabsahannya oleh seluruh ulama, beliau berkata ketika
menjelaskan ta’wil ketiga dari makna istihsan :
وهذا مما لا ينكر، وإنما يرجع الاستنكار إلى اللفظ، وتخصيص هذا النوع
من الدليل بتسميته استحسانا من بين سائر الأدلة[5].
“Dan ini dari hal-hal
yang tidak dapat diinkari, tetapi
pengingkaran sejatinya kembali kepada penggunaan kata istihsan untuk menyebut
dalil ini dari semua dalil”
Menurut pernyataan imam al-Gazali diatas,
hal ini hanyalah perbedaan pemakain istilah saja, tanpa mengingkari substansi
dari istihsan, ia cendrung tidak setuju dengan lebel istihsan
pada jenis dalil ini, begitu juga dengan para ulama Syafi’iyah lainnya. Namun
pada dasarnya, perselisihan terhadap istilah bukanlah sesuatu yang penting.
Yang menjadi pertanyaan, kenapa imam
Syafi’i menyatakan sesuatu yang sebenarnya bukanlah yang dimaksud oleh para fuqaha?
Pada dasarnya pernyataan itu bukan untuk mengomentari istihsan yang
dimaksud oleh para fuqaha melainkan untuk memerangi mereka yang dengan
mudahnya berkata-kata tentang suatu hukum dengan akal mereka tanpa adanya
hujjah dan dalil[6].
Jika demikian, perselisihan juga terjadi
pada meninggalkan suatu dalil dengan alasan penerapannya bertentangan dengan
kebiasaan, namun jika yang dimaksud adalah kebiasaan yang disepakati oleh umat
dari golongan ahlu al-hill wa al-aqdi/ ahlu an-nazhar, maka hal ini
dapat dibenarkan menurut al-Amidi. Namun apabila yang dimaksud adalah kebiasaan
awam, maka meninggalkan dalil dalam hal ini dilarang[7].
Pada dasarnya apa yang dikatakan al-Amidi
diatas, apabila yang dimaksud adalah ijma’, sedangkan ijma’ sejatinya juga
adalah dalil. Maka dengan begitu, jika ada pertentangan antara dalil dan ijma’,
maka dilakukan istihsan dengan meninggalkan dalil dan menerapkan ijma’.
Namun apabila yang dimaksud bukanlah ijma’ maka hal ini tidaklah dibenarkan,
mengingat didalam istihsan dalil kedua haruslah lebih kuat dari dalil
pertama, sedangkan ittifaq sebagian ulama terhadap suatu kebiasaan
bukanlah dalil.
Begitu juga halnya dengan meninggalkan qiyas yang jelas demi
kemaslahatan, atau dengan asas keadilan, terjadi perbedaan pendapat dikalangan
ulama terkait permasalahan ini, sebagian mereka membenarkan istihsan
dengan menggunakan maslahah, dikarenakan pada dasarnya hal ini tidak
bertentangan dengan ruh at-tasyri’ seperti mencegah mafsadah dan
menghilangkan masyaqqah. Hal ini senada dengan firman Allah SWT:
يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ[8]
“Allah SWT
menginginkan kemudahan bagi kalian, dan Ia tidak menginginkan kesukaran
terhadap kalian”
Sedangkan ulama yang tidak memperbolehkannya menyatakan bahwa
sejatinya mereka tidak mengingkari akan adanya ruh at-tasyri’ dan
beberapa qaidah ‘ammah yang disampaikan, namun tidak ada satu dalilpun
yang memperbolehkan kita meninggalkan qiyas ataupun dalil lainnya demi
kaidah-kaidah tersebut. Begitu juga beberapa rukhsah yang ada didalam
syari’at kita sejatinya datang setelah azimah, dan tidak dibenarkan bagi
setiap orang dengan dalih kaidah tersebut membuat keringanan tersendiri dengan
dalih istihsan[9].
Perbedaan
diatas didasarkan pada meninggalkan dalil dikarenakan bertentangan dengan adat
atau ittifaq ahl an-nadzar, lantas bagaimanakah perselisihan
ulama terkait bahwasanya qiyas yang kemudian ditinggalkan dikarenakan adanya istihsan,
sedang dalam sebagian hukumnya qiyas tersebut masih diterapkan, atau dengan
kata lain terdapat pengecualian atau pembatalan terhadap sebagian hukum qiyas,
tetapi masih berlaku disebagian yang lain?[10]
Untuk hal ini, penulis tidak menuliskan penjelasannya, dikarenakan perbedaan ini,
walaupun ada keterkaitan dengan istihsan, tetapi ia sejatinya mempunyai
judul tersendiri, para ushuli biasa menyebutnya dengan takhsis illah,
dan sejatinya mempunyai keterkaitan yang lebih dalam pada bab qiyas.
[1] Muhammad bin
Muhammad, Op.cit, Juz 2, hal 467
[2] Ibid
[3] Muhammad bin
Idris, Ar-Risalah, Tahqiq : Ahmad Syakir, (Bairut : Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah) hal 507
[4] Ibid, hal 503
[5] Muhammad bin
Muhammad, Op.cit, Juz 2, hal 476
[6] Ahmad Nahrawi
Abdussalam, Imam asy-Syafi’I fi Madzhabihi al-Qadim wa al-Jadid,
Cet : 2, 1994 M, hal 423
[7] Ali bin
Muhammad, Op.cit, juz 4 hal 194
[8] Al-Baqarah :
185
[9] Ahmad Nahrawi
Abdussalam, Op.cit, hal 419
[10] Muhammad bin
Umar, Al-Mahsul fi ‘Ilmi al-Ushul, Tahqiq : Jababir Fayyadh,
(Damaskus : Mu’assasah ar-Risalah), Juz 6 hal 127
No comments:
Post a Comment