Friday, May 6, 2016

PANDANGAN ISLAM TERHADAP ASURANSI




Tidak dapat dipungkiri sebagaimana telah jelas sebelumnya tentang dibolehkannya asuransi takaful dalam perspektif  fuqoha (Ahli Fikih) modern dikarenakan ia dapat dikatagorikan sebagai Aqad Tabaru’at (Bantuan) sebagaimana juga ia termasuk kedalam tolong-menolong atas kebaikan dan ketaqwaan yang diperintahkan oleh syari’at. Karena setiap orang yang berkontribusi membayar kontribusi dengan kerelaan bertujuan untuk mengurangi resiko dan dampak kerusakan yang menimpa salah satu  kontributor. Apapun bentuk musibahnya , apakah termasuk pada asuransi kematian, kecelakaan, atau disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti, kebakaran, pencurian, kematian binatang, ataupun tidak disengaja seperti kecelakaan lalu-lintas atau kecelakaan kerja. Juga dikarenakan bahwa jenis asuransi ini tidak memilik tujuan komersial.

Dan dengan dasar diatas lahirlah perusahaan-perusahaan asuransi takaful di Sudan dan selainnya yang telah menuai sukses dalam mengemban tugas-tugasnya. Meskipun para akuntan menganggap asuransi seperti ini adalah primitif.
Sebagaimana asuransi takaful diperbolehkan, begitu juga asuransi yang bersifat mengikat yang diwajibkan oleh negara. Karena  asuransi ini menduduki tempat pajak yang dibayar penduduk kepada negara. Seperti asuransi wajib atas mobil sendiri bukan mobil orang lain.
Dan tidak ada larangan mengenai bolehnya asuransi sosial untuk memberikan jaminan keamanan finansial kepada masyarakat akan hal-hal yang bersifat darurat, atau jaminan finansial atas para lansia, orang-orang sakit, pengangguran, atau jaminan atas kontrak kerja. Karena pada dasarnya Negara dituntut untuk mengayomi semua rakyatnya terutama pada mereka yang mempunyai keadaan seperti diatas. Juga dikarenakan tidak terdapatnya unsur-unsur riba, penipuan dan judi didalam asuransi jenis ini.
Dua jenis asuransi diatas, yaitu asuransi takaful dan asuransi social telah dinyatakan boleh oleh para ulama pada Muktamar Ulama Muslim ke-2 di Kairo tahun 1385 H/1965 M, Muktamar Ulama Muslim Ke-7 pada tahun 1392 H/1978M dan oleh Islamic Fiqh Academy di Makkah Al-Mukaramah pada tahun 1398 H/1978M.
Adapun asuransi niaga hukumnya adalah haram. Pengharaman ini disandarkan pada pendapat kebanyakan Fuqoha modern. Dan pengharaman ini juga ditetapkan oleh Konfrensi Internasional untuk Ekonomi Islam pertama di Mekkah Al-Mukarramah pada tahun 1396H/1976M. Sedangkan sebab pengaharaman jenis asuransi ini adalah terdapatnya dua unsur. Yaitu, penipuan dan riba.
Tidak ada satupun orang yang dapat mengingkari keberadaan unsur riba pada asuransi niaga ini. Dikarenakan premi dikembangkan oleh perusahaan asuransi melalui cara yang sangat syubhat, mereka menginvestasikannya dilembaga-lembaga keuangan yang melakukan praktek riba. Setelah itu perusahaan asuransi terkadang memberikan bunga kepada nasabah yang telah mengansuransikan hidupnya pada perusahaan asuransi tersebut. Sedangkan Islam telah melarang praktek riba secara qath’i.
Sedangkan ulama yang membolehkan tentunya melarang keras perusahaan-perusahaan asuransi niaga menginvestasikan harta mereka kepada lembaga-lembaga keuangan yang melakukan praktek riba. Mereka juga melarang para nasabah mengambil bunga yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi walaupun hanya sedikit.
Praktek riba juga sangatlah terlihat jelas antara nasabah dan perusahaan asuransi niaga. Karena tidak didapati kesetaraan pada premi yang dibayarkan nasabah dan konpensasi yang dikeluarkan oleh perusahaan. Konpensasi perusahaan terkadang lebih sedikit dari pada premi yang dibayarkan oleh nasabah atau bisa jadi lebih banyak, atau mungkin premi dan konpensasi mengalami kesetaraan, namun ini hal ini sangatlah jarang terjadi.
Apabila konpensasi dibayarkan oleh perusahaan terlambat dari klaim nasabah, dan konpensasi ini lebih banyak dari pada premi yang dibayar maka ini tergolong kedalam praktek riba fadhl dan Nasi’ah bersamaan. Sedangkan apabila premi dan konpensasi setara maka ia termasuk kedalam golongan riba Nasi’ah. Dan keduanya diharamkan didalam syari’at Islam.
Dan apabila dikatakan bahwa kontrak asuransi niaga bersandarkan pada prinsip tolong-menolong untuk memulihkan keadaan finansial nasabah yang telah tertimpa musibah, maka didalam kontrak tersebut kita tidak mendapati adanya praktek riba ataupun semisalnya. Saya menjawab, bahwasanya terkadang nasabah menginginkan keuntungan dari asuransi yang ia ikuti. Dan praktek riba juga tetap ada pada konpensasi perusahaan, karena ia merupakan hasil bunga dan praktek-praktek riba yang dilakukan oleh perusahaan.
Sedangan unsur tipuan sangatlah jelas didalam asuransi ini, karena ia termasuk kedalam Aqud ghorar (Tipuan). Aqud Ghorar adalah kontrak-kontrak yang mengandung relativitas dan keragu-raguan antara adanya kontrak dan ketiadaannya. Rasulullah SAW didalam hadist shohih yang telah diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya dari sekolompok orang dari golongan sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka berkata :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الغرر
Artinya : Bahwasanya Rasulullah SAW melarang jual-beli yang didasarkan pada Ghorar (penipuan)
Dalam hal ini jual-beli dapat diqiyaskan pada aqad-aqad transaksi komersial, dikarenakan adanya unsur penipuan didalam aqad-aqad ini berpengaruh pada sahnya aqad tersebut menurut syari’at islam. Hal ini sama dengan apa yang terjadi pada jual beli.
Dikarenakan aqad jaminan dengan perusahaan-perusahaan asuransi tergolong kedalam aqad-aqad transaksi komersial, bukan termasuk pada aqad sosial. Maka unsur tipuan mempunyai pengaruh didalam aqad tersebut. Sebagaimana unsur tipuan juga berpengaruh pada semua aqad transaksi komersial. Dan para pembuat undang-undang sekalipun sudah mengkatagorikan asuransi pada Aquudul Ghorar (Aqad-aqad yang mengandung unsur penipuan). Karena asuransi didasarkan pada kejadian pada masa yang akan datang yang belum tentu terjadi. Jadi unsur penipuan adalah sesuatu yang pasti selalu mengiringi aqad asuransi niaga.
Ada banyak sekali unsur penipuan didalam aqad asuransi, tidak sedikit dan tidak pula sedang. Karena asuransi hanya berdasarkan pada bahaya yang akan terjadi. Sementara bahaya yang akan terjadi sangatlah relative dan tidak tergantung pada kehendak nasabah ataupun perusahaan asuransi. Sedangkan nasabah dikarenakan ia tidak mengetahui bahaya apa yang akan terjadi, maka ia juga tidak mengetahui prem yang seharusnya ia bayarkan kepada perusahaan, atau berapa yang akan ia ambil dari konpensasi perusahaan. Bisa jadi nasabah hanya membayar satu kali dan bahaya pun terjadi, maka ia berhak untuk mendapatkan konpensasi dari apa yang sudah perusahaan janjikan. Atau sebaliknya, nasabah sudah membayar semua prem sedangkan bahaya tidak kunjung datang, maka ia tidak berhak mengambil apapun dari apa yang telah dijanjikan oleh perusahaan.
Dan seperti ini juga keadaan perusahaan asuransi, mereka juga pada dasarnya tidak mengetahui ketika penandatangan kontrak berapakah laba yang akan mereka peroleh dari nasabah, atau berpakah konpensasi yang harus mereka tanggung. Walaupun mereka mampu memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada para nasabah mereka dengan menggunakan metode penghitungan yang sangat teliti dan dengan mempelajari keadaan-keadaan sosial nasabah mereka.
Sedangkan apa yang telah dikatakan bahwa perusahaan asuransi berpegang pada hitungan-hitungan yang sangat teliti yang dapat mencegah terjadinya relatifisme, penipuan dan ketidakadilan. Hal ini tidaklah dapat menjadi alasan dalam membolehkan praktek asuransi. Karena tercegahnya unsur penipuan untuk perusahaan saja tidaklah cukup dalam mengeluarkan pengaruh unsur penipuan yang sudah terlanjur ada didalam aqad asuransi. Untuk itu unsur penipuan juga harus ditiadakan untuk nasabah. Karena Fiqih Islam tidak melihat pada keseluruhan aqad-aqad yang diperindah oleh perusahaan asuransi, melainkan ia melihat pada sah atau rusaknya suatu akad pada setiap akad secara terperinci.
Dan pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada unsur penipuan dan ketidak pastian bagi nasabah dalam asuransi. Dikarenakan didalam aqad asuransi rasa aman adalah (Mahalul Aqad) hal yang diberikan oleh perusahaan kepada nasabah, setelah si nasabah membayarkan prem yang diwajibkan oleh perusahaan, jadi perasaan ini sudah didapatkan oleh nasabah ketika pembayaran pertamanya . Saya katakan bahwa pendapat ini salah. Karena rasa aman adalah faktor  utama terjadinya aqad asuransi, maka ia bukanlah (Mahalul Aqad) pembayaran yang dijanjikan didalam aqad. Mahalul Aqad adalah apa yang dibayarkan oleh kedua pihak, dalam hal ini adalah nasabah dan perusahaan, atau apa yang dibayarkan oleh salah satu dari keduanya. Kalaupun kita katakan bahwa rasa aman adalah Mahalul Aqad maka ini sangat keliru, karena Mahalul Aqad adalah sesuatu yang mungkin bukan sesuatu yang mustahil, sedangkan rasa aman adalah sesuatu yang mustahil bisa dipastikan.
Dan pembayaran pada transaksi komersial, seperti apa yang ditunjukkan oleh hadist-hadist yang melarang jual-beli buah-buahan sampai kelihatan matang dan aman dari kerusakan, haruslah mempunyai wujud dan bisa dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya yang tertera didalam aqad atau sudah dipahami secara adat ketika aqad sedang berlangsung. Apabila pada kenyataannya tidaklah seperti it u, seperti barang yang dijual tidak mempunyai wujud, atau keberadaan barang tersebut masih berupa perkiraan pada masa yang akan datang maka secara syari’at jual beli seperti ini hukumnya adalah haram. Dan timbal-balik perusahaan asuransi kepada nasabah hanyalah berupa perkiraan.
Adapun yang dapat membolehkan aqad yang terdapat unsur penipuan didalamnya, sedikit atau banyak. Semisal ketika seseorang berada didalam suatu keadaan yang mana jika ia tidak melakukan sesuatu yang dilarang, maka ia akan berada dalam kesulitan, tetapi tidak sampai mengakibatkan kematian. Dalam keadaan ini apabila ingin menggunakan aqad yang terdapat unsur penipuan didalamnya maka ia harus melihat kepada syarat-syarat yang berlaku. Adapun syarat itu adalah :
1.      Keperluan yang mendesak itu haruslah demi kemaslahatan manusia secara umum, atau segolongan dari manusia, seperti penduduk suatu daerah secara keseluruhan.
2.      Diharuskan untuk mencoba seluruh metode-metode yang sesuai dengan syari’at yang berkaitan dengan keperluan tersebut terlebih dahulu sebelum menggunakan aqad yang didalamnya terdapat unsur penipuan. Apabila didalam metode-metode tersebut belumlah didapati sesuatu yang bisa menyelesaikan keperluan tersebut barulah menggunakan aqad yang didalamnya terdapat unsur penipuan diperbolehkan.  
Jika kita terima bahwa masyarakat sekarang sangatlah membutuhkan asuransi demi kemaslahatan mereka. Namun perlu diingat bahwa kita juga harus mencoba metode-metode yang sesuai dengan syari’at terlebih dahulu, karena kemaslahatan yang dituju oleh asuransi niaga juga sebenarnya dapat kita temukan didalam asuransi takaful yang berlandaskan pada sosial dan menghapus mediator ekploitasi keperluan manusia seperti perusahaan asuransi. Atas dasar inilah maka asuransi niaga adalah termasuk jenis transaksi komersil yang mengandung banyak unsur penipuan tanpa mencoba metode yang berlandaskan syari’at maka hal ini dilarang.
Dan jika kita terima bahwa dalam pelaksanaan asuransi niaga sebelumnya sudah dilakukan tes terhadapa metode-metode lain yang sesuai dengan syari’at, namun kesemuanya tidak dapat menyelesaikan masalah. Namun perlu diingat bahwa pembolehan asuransi jenis ini ketika darurat hanyalah sebatas hal yang diperlukan saja, tidak lebih. Sesuai dengan kaidah fiqhiah yang berbunyi :
الحاجة تقدر بقدرها
Artinya : Keperluan akan hal yang dilarang pada saat darurat hanya diperbolehkan seukuran keperluan tersebut.
Diantara sebab yang menunjukkan buruknya asuransi niaga adalah : Bahwa unsur penipuan agar bisa mempengaruhi sah atau tidaknya suatu aqad disyaratkan bahwa unsur penipuan itu terdapat pada sesuatu yang diaqad bukan sesuatu yang mengikutinya. Dan unsur penipuan yang merusak aqad ini ada pada asuransi niaga.
Dan dapat dipahami dari terdapatnya unsur penipuan didalam asuransi niaga adanya ketidak jelasan pada prem dan konpensasi. Yang dimaksud ketidak jelasan disini adalah ketidak jelasan banyaknya uang yang harus dibayar kedua belah pihak untuk yang lainnya. Terkadang banyak dan terkadang sedikit. Bahkan apa yang dibayarkan oleh perusahaan kepada nasabah berupa konpensasi sesuai dengan musibah yang terjadi, entah itu kecelakaan biasa ataupun kematian. Dan bahaya-bahaya yang meupakan pendorong terjadinya aqad bisa terjadi dan bisa pula  tidak terjadi. Ini semua menjadikan ketidak jelasan semakin nyata dan berakibat pada batalnya aqad.
Dan aqad asuransi menjadi terlarang secara syari’at dikarenakan ia mengangdung unsur penipuan dan ketidak jelasan. Bukan dikarenakan harga satu kali prem yang jelas, melainkan jumlah keseluruhan premi yang harus dibayar oleh nasabah. Dan kerelaan perusahaan dalam memberikan konpensasi kepada nasabah ketika kematian atau terjadi musibah dalam jangka waktu tertentu yang telah disebutkan didalam aqad tanpa melihat prem yang telah dibayar oleh nasabah, sedikit ataupun banyak. Kerelaan perusahaan diatas sama sekali tidaklah berpengaruh pada boleh atau tidak bolehnya asuransi niaga, karena ini merupakan kerelaan yang berlawanan dengan asas-asas syari’at Islam dan nash-nashnya yang melarang akan penipuan. Seperti kerelaan pemain judi dan kerelaan penzina ketika berzina tidaklah bisa menghalalkan kedua perbuatan tersebut.
Dan ketidaktahuan yang sangat jelas sangatlah berpengaruh pada sah atau tidaknya suatu aqad walaupun ia tidak menghasilkan permusuhan diantara kedua belah pihak. Adapun ketidaktahuan yang sangat kecil dan hampir tidak nampak maka ini dimaafkan. Ketidaktahuan didalam asuransi sangatlah jelas, bahkan jauh lebih jelas dari apa yang pernah digambarkan para ulama. Karena ketidaktahuan didalam asuransi berpotensi menghasilkan permusuhan dan pembatalan kontrak antara kedua belah pihak. Kita ambil misal berupa larangan jual-beli lobak dan wortel yang masih berada didalam tanah dikarenakan kedua ada didalam tanah dan tidak diketahui bentuk dan ukurannya secara pasti, dan ketidaktahuan inilah yang membuat jual-beli keduanya diharamkan ketika masih didalam tanah. Sedangkan didalam asuransi, konpensasi karena kecelakaan memiliki presentasi yang relative sangat rendah, bisa terjadi atau tidak. Dan kerelatifitasan inilah yang membuat aqad asuransi menurut syari’at menjadi sangat lemah.
Berdasrkan semua alasan yang telah terurai diatas maka tidaklah halal bagi pembisnis dan selainya yang terdaftar menjadi nasabah pada suatu perusahaan asuransi untuk mengambil konpensasi dari uang asuransi. Karena konpensasi adalah harta yang semestinya tidak harus diberikan kepada para nasabah, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abidin. “ Dan pewajiban jaminan atas orang yang dipercayakan atas sesuatu adalah salah seperti apa yang telah ditetapkan oleh ulama hanafiyah”
Kesimpulan : Asuransi niaga mengandung lima sebab yang menjadikannya haram.
1.      Riba : Konpensasi terkadang lebih banyak dari premi yang dibayar oleh nasabah, tentunya ini termasuk kedalam riba. Perusahaan asuransi juga menginvestasikan premi-premi yang dibayar oleh nasabah dilembaga-lembaga keuangan yang menggunakan metode ribawi. Mereka juga mengambil bunga dari para nasabah yang terlambat membayar premi.
2.      Penipuan : Pembayaran asuransi dilakukan berdasarkan pada sesuatu yang belum pasti terjadi. Dan terkadang perusahaan asuransi mempunyai hutang yang sangat besar tanpa mendapatkan pembayaran didasarkan pada unsur penipuan.
3.      Ketidakadilan : Asuransi mengandung unsur ketidakadilan dikarenakan ketidakjelasan Mahalul Aqad. Sedangkan mengetahui bentuk pembayaran merupakan syarat sahnya suatu aqad.
4.      Perjudian : Asuransi mengandung unsur perjudian, karena bahaya yang merupakan faktor terjadinya aqad tidak dapat diketahui waktu terjadinya, bahkan bisa jadi tidak terjadi. Ini merupakan salah satu bentuk dari perjudian atau pengundian nasib. Dan nasabah memberikan sedikit hartanya untuk dapat mengambil uang konpensasi yang besar tatkala terjadi musibah.
5.      Ketidaktahuan : Premi yang dibayarkan oleh nasabah tidak diketahui jumlah seluruhnya oleh kedua belah pihak. Dan kedua belah pihak saling ber-mu’amalah dengan ketentuan-ketentuan yang tertera didalam aqad tanpa mengetahui apa yang akan dia dapatkan, keuntungan atau kerugian.
Reasuransi
Prinsip kerjasama pada asuransi dapat dicapai dengan pembagian resiko kepada penanggung lainnya dengan memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi. Maka ketika jumlah nasabah pada suatu perusahaan asuransi sudah sangat banyak maka pembagian resiko kepada penanggungnya juga semakin banyak. Jadi ini adalah suatu proses pembagian resiko kepada penanggung lain. Pembagian resiko ini mempunyai banyak metode, diantaranya adalah reasuransi. Dimana suatu perusahaan asuransi mengasuransikan dirinya kepadda perusahaan yang lebih besar dari apa yang akan menimpanya berupa kerugian dikarenakan konpensasi yang harus dibayarkan kepada para nasabah.
Reasuransi secara syari’at mempunyai hukum yang sama dengan asuransi biasa. Perusahaan asuransi yang berprinsip syari’ah boleh mengasuransikan perusahaannya kepada perusahaan asuransi syari’ah lainya. Sedangkan reasuransi niaga mempunyai hukum yang sama dengan asuransi niaga biasa. Karena tidak ada perbedaan antara aqad asuransi biasa dengan aqad reasuransi, kecuali hanya pada nasabah, nasabah pada asuransi biasa adalah pribadi-pribadi sedangkan nasabah pada reasuransi adalah perusahaan asuransi.
Begitu juga dengan batasan-batasan unsur penipuan yang dapat mempengaruhi aqad, yaitu seperti yang sudah disinggung sebelumnya seperti.
1.      Aqad merupakan jenis transaksi komersial, bukan transaksi sosial.
2.      Unsur penipuan haruslah sangat jelas
3.      Unsur penipuan langsung terdapat pada pembayaran transaksi, apapun bentuk transaksi tersebut. Bukan manfaat yang mengikuti setelah transaksi.
4.      Aqad yang terdapat unsur penipuan didalamnya bukan aqad yang dibutuhkan oleh semua golongan kaum muslimin atau segolongan dari kaum muslimin.
Batasan-batasan unsur penipuan yang dapat mempengaruhi aqad ini sebagaimana berlaku pada asuransi niaga, juga berlaku pada reasuransi dan berdampak tidak bolehnya praktek reasuransi yang tidak berlandaskan pada prinsip takaful dan sosial atas perusahaan asuransi niaga secara syari’at. Kecuali jika keperluan atas reasuransi seperti ini bersifat mendesak dan tidak dapat dihindarkan dengan syarat telah berusaha mencoba metode-metode yang tidak berlawanan dengan syari’at. Hal ini sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Dewan Pengawas Syari’ah Faisal Islamic Bank di Sudan fatwa nomor 16 dan 17. Tetapi apakah perusahaan-perusahaan asuransi takaful dan sosial akan menemui banyak kendala apabila tidak berkerjasama dengan perusahaan reasuransi niaga ?
Dewan Pengawas Syari’ah Faisal Islamic Bank di Sudan menurut fatwa nomor 16 dan 17 berpendapat pada bolehnya reasuransi niaga dikarenakan keperluan yang mendesak dan untuk kemaslahatan umat Islam seperti apa yang telah diperhitungkan oleh para ahli ilmu perbankan syari’ah dengan syarat-syarat yang mereka namai Al-malhuzot wa At-tahafuzot. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain :
1.      Perusahaan asuransi takaful tidak boleh membayar premi kepada perusahaan reasuransi niaga kecuali sesedikit mungkin berkisar hanya untuk keperluan semata. Sesuai dengan qoidah fikhiyah yang telah disinggung sebelumnya, yaitu :
الحاجة تقدر بقدرها
Artinya : Keperluan akan hal yang dilarang pada saat darurat hanya diperbolehkan  seukuran keperluan tersebut.
Ukuran premi yang harus dibayar tidak dijelaskan oleh para ahli.
2.      Perusahaan asuransi takaful tidak boleh mengambil komisi apapun dari perusahaan reasuransi niaga.
3.      Perusahaan asuransi takaful tidak mensetujui penjagaan perusahaan reasuransi kovensional untuk menjaganya dari kerugian-kerugian yang akan terjadi pada masa yang akan datang sebagai bentuk kewapasdaan perusahaan.  Hal ini dikarenakan penjagaan  akan berdampak pada pembayaran bunga untuk perusahaan reasuransi.
4.      Perusahaan asuransi takaful tidak boleh mengikuti  investasi perusahaan reasuransi dengan menggunakan premi yang dibayarkan perusahaan asuransi takaful kepada perusahaan reasuransi. Perusahaan asuransi takaful juga tidak boleh meminta bagiannya dari uang investasi dan tidak boleh bertanya akan kerugian yang akan menimpanya.
5.      Kontrak dengan perusahaan reasuransi haruslah dilakukan dengan jangka waktu sependek-pendeknya.
6.      Perusahaan asuransi takaful haruslah berusaha membangun perusahaan reasuransi yang berbasis syari’ah agar pada masa yang akan datang ia dapat terbebas dari perusahaan reasuransi konvensional.
Inilah pendapat yang aku utarakan. Dan sampai sekarang aku masihlah merasa pendapat orang-orang yang mengatakan masyru’nya asuransi niaga sangat aneh dan buruk sekali. Aku merasa tidak perlu mengutarakan dalil-dalil mereka, karena sudah banyak sekali bantahan-bantahan atas mereka dimajalah-majalah, artikel-artikel, makalah-makalah dan konfrensi-konfrensi. Mulai dari pekan Fikih Islam di Damaskus pada tanggal 1-6 April 1961 M dan berakhir dengan ketetapan dari Islamic Fiqh Academy pada seminar pertamanya yang dilaksanakan pada bulan  sya’ban 1398 H di Makkah Al-Mukarramah dilaksanakan dimarkas Muslim World League (MWL). Siapapun yang ingin memastikan keharaman asuransi niaga dan kebatilan pendapat yang membolehkannya silakan ia merujuk kepada makalah-makalah Pekan Fikih Islam di Damaskus dan kepada ketetapan Islamic Fiqh Academy. Semoga Allah selalu menuntun kita menuju jalan yang benar.
Sedangkan hukum asuransi-asuransi yang bersifat sosial yang dibayar oleh pemerintah atau dana pensiun dan jaminan usia tua, atau jaminan tenaga kerja disuatu Negara semuanya menurut perkiraan saya adalah boleh. Karena Negara mempunyai kewajiban dalam mengayomi semua golongan dari rakyatnya ketika mereka dalam keadaan lemah, sakit, lansia atau semisalnya ketika mereka tidak mampu untuk bekerja dan mencari nafkah. Hal seperti ini tidak boleh dilihat dari pajak yang diwajibkan Negara dari gajih bulanan, atau yang dibayarkan oleh para pemilik usaha pada setiap bulan untuk kemaslahatan jaminan sosial masyarakat, atau uang yang dibayarkan oleh pegawai atau pekerja dengan keinginan mereka sendiri pada setiap tahun agar mendapatkan konpensasi ketika pensiun dari pekerjaan. Semua premi yang dibayarkan ini tidak dapat dikatagorikan sebagai riba, walaupun para pekerja yang pensiun mendapatkan konpensasi lebih besar dari premi yang ia bayarkan, karena premi yang dibayarkan sebenarnya adalah donasi atau pemberian suka-rela dengan tujuan agar dapat saling memberikan pertolongan diantara para nasabah yang dikumpulkan didalam asuransi-asuransi sosial pemerintah.   
  

Diterjemahkan dari kitab Fiqhul Islam Wa Adillatuhu  karya Dr. Wahbah Zuhaili Jilid 5 hal 3422-3431



No comments: