Tidak
dapat dipungkiri sebagaimana telah jelas sebelumnya tentang dibolehkannya
asuransi takaful dalam perspektif fuqoha
(Ahli Fikih) modern dikarenakan ia dapat dikatagorikan sebagai Aqad
Tabaru’at (Bantuan) sebagaimana juga ia termasuk kedalam tolong-menolong
atas kebaikan dan ketaqwaan yang diperintahkan oleh syari’at. Karena setiap
orang yang berkontribusi membayar kontribusi dengan kerelaan bertujuan untuk
mengurangi resiko dan dampak kerusakan yang menimpa salah satu kontributor. Apapun bentuk musibahnya
, apakah termasuk pada asuransi kematian, kecelakaan, atau disebabkan oleh
berbagai macam hal, seperti, kebakaran, pencurian, kematian binatang, ataupun tidak
disengaja seperti kecelakaan lalu-lintas atau kecelakaan kerja. Juga
dikarenakan bahwa jenis asuransi ini tidak memilik tujuan komersial.
Dan
dengan dasar diatas lahirlah perusahaan-perusahaan asuransi takaful di Sudan
dan selainnya yang telah menuai sukses dalam mengemban tugas-tugasnya. Meskipun
para akuntan menganggap asuransi seperti ini adalah primitif.
Sebagaimana
asuransi takaful diperbolehkan, begitu juga asuransi yang bersifat mengikat
yang diwajibkan oleh negara. Karena asuransi ini menduduki tempat pajak yang
dibayar penduduk kepada negara. Seperti asuransi wajib atas mobil sendiri bukan
mobil orang lain.
Dan
tidak ada larangan mengenai bolehnya asuransi sosial untuk memberikan jaminan keamanan
finansial kepada masyarakat akan hal-hal yang bersifat darurat, atau jaminan
finansial atas para lansia, orang-orang sakit, pengangguran, atau jaminan atas
kontrak kerja. Karena pada dasarnya Negara dituntut untuk mengayomi semua
rakyatnya terutama pada mereka yang mempunyai keadaan seperti diatas. Juga
dikarenakan tidak terdapatnya unsur-unsur riba, penipuan dan judi didalam
asuransi jenis ini.
Dua
jenis asuransi diatas, yaitu asuransi takaful dan asuransi social telah
dinyatakan boleh oleh para ulama pada Muktamar Ulama Muslim ke-2 di Kairo tahun
1385 H/1965 M, Muktamar Ulama Muslim Ke-7 pada tahun 1392 H/1978M dan oleh
Islamic Fiqh Academy di Makkah Al-Mukaramah pada tahun 1398 H/1978M.
Adapun
asuransi niaga hukumnya adalah haram. Pengharaman ini disandarkan pada pendapat
kebanyakan Fuqoha modern. Dan pengharaman ini juga ditetapkan oleh
Konfrensi Internasional untuk Ekonomi Islam pertama di Mekkah Al-Mukarramah
pada tahun 1396H/1976M. Sedangkan sebab pengaharaman jenis asuransi ini adalah
terdapatnya dua unsur. Yaitu, penipuan dan riba.
Tidak
ada satupun orang yang dapat mengingkari keberadaan unsur riba pada asuransi
niaga ini. Dikarenakan premi dikembangkan oleh perusahaan asuransi melalui cara
yang sangat syubhat, mereka menginvestasikannya dilembaga-lembaga keuangan yang
melakukan praktek riba. Setelah itu perusahaan asuransi terkadang memberikan
bunga kepada nasabah yang telah mengansuransikan hidupnya pada perusahaan
asuransi tersebut. Sedangkan Islam telah melarang praktek riba secara qath’i.
Sedangkan
ulama yang membolehkan tentunya melarang keras perusahaan-perusahaan asuransi
niaga menginvestasikan harta mereka kepada lembaga-lembaga keuangan yang
melakukan praktek riba. Mereka juga melarang para nasabah mengambil bunga yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi walaupun hanya sedikit.
Praktek
riba juga sangatlah terlihat jelas antara nasabah dan perusahaan asuransi
niaga. Karena tidak didapati kesetaraan pada premi yang dibayarkan nasabah dan
konpensasi yang dikeluarkan oleh perusahaan. Konpensasi perusahaan terkadang
lebih sedikit dari pada premi yang dibayarkan oleh nasabah atau bisa jadi lebih
banyak, atau mungkin premi dan konpensasi mengalami kesetaraan, namun ini hal
ini sangatlah jarang terjadi.
Apabila
konpensasi dibayarkan oleh perusahaan terlambat dari klaim nasabah, dan
konpensasi ini lebih banyak dari pada premi yang dibayar maka ini tergolong
kedalam praktek riba fadhl dan Nasi’ah bersamaan. Sedangkan
apabila premi dan konpensasi setara maka ia termasuk kedalam golongan riba Nasi’ah.
Dan keduanya diharamkan didalam syari’at Islam.
Dan
apabila dikatakan bahwa kontrak asuransi niaga bersandarkan pada prinsip
tolong-menolong untuk memulihkan keadaan finansial nasabah yang telah tertimpa
musibah, maka didalam kontrak tersebut kita tidak mendapati adanya praktek riba
ataupun semisalnya. Saya menjawab, bahwasanya terkadang nasabah menginginkan
keuntungan dari asuransi yang ia ikuti. Dan praktek riba juga tetap ada pada
konpensasi perusahaan, karena ia merupakan hasil bunga dan praktek-praktek riba
yang dilakukan oleh perusahaan.
Sedangan
unsur tipuan sangatlah jelas didalam asuransi ini, karena ia termasuk kedalam Aqud
ghorar (Tipuan). Aqud Ghorar adalah kontrak-kontrak yang mengandung
relativitas dan keragu-raguan antara adanya kontrak dan ketiadaannya.
Rasulullah SAW didalam hadist shohih yang telah diriwayatkan oleh orang-orang
terpercaya dari sekolompok orang dari golongan sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka
berkata :
أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الغرر
Artinya
: Bahwasanya Rasulullah SAW melarang jual-beli yang didasarkan pada Ghorar (penipuan)
Dalam
hal ini jual-beli dapat diqiyaskan pada aqad-aqad transaksi komersial,
dikarenakan adanya unsur penipuan didalam aqad-aqad ini berpengaruh pada sahnya
aqad tersebut menurut syari’at islam. Hal ini sama dengan apa yang terjadi pada
jual beli.
Dikarenakan
aqad jaminan dengan perusahaan-perusahaan asuransi tergolong kedalam aqad-aqad
transaksi komersial, bukan termasuk pada aqad sosial. Maka unsur tipuan
mempunyai pengaruh didalam aqad tersebut. Sebagaimana unsur tipuan juga
berpengaruh pada semua aqad transaksi komersial. Dan para pembuat undang-undang
sekalipun sudah mengkatagorikan asuransi pada Aquudul Ghorar (Aqad-aqad
yang mengandung unsur penipuan). Karena asuransi didasarkan pada kejadian pada
masa yang akan datang yang belum tentu terjadi. Jadi unsur penipuan adalah
sesuatu yang pasti selalu mengiringi aqad asuransi niaga.
Ada
banyak sekali unsur penipuan didalam aqad asuransi, tidak sedikit dan tidak
pula sedang. Karena asuransi hanya berdasarkan pada bahaya yang akan terjadi.
Sementara bahaya yang akan terjadi sangatlah relative dan tidak tergantung pada
kehendak nasabah ataupun perusahaan asuransi. Sedangkan nasabah dikarenakan ia
tidak mengetahui bahaya apa yang akan terjadi, maka ia juga tidak mengetahui
prem yang seharusnya ia bayarkan kepada perusahaan, atau berapa yang akan ia
ambil dari konpensasi perusahaan. Bisa jadi nasabah hanya membayar satu kali
dan bahaya pun terjadi, maka ia berhak untuk mendapatkan konpensasi dari apa
yang sudah perusahaan janjikan. Atau sebaliknya, nasabah sudah membayar semua
prem sedangkan bahaya tidak kunjung datang, maka ia tidak berhak mengambil
apapun dari apa yang telah dijanjikan oleh perusahaan.
Dan
seperti ini juga keadaan perusahaan asuransi, mereka juga pada dasarnya tidak
mengetahui ketika penandatangan kontrak berapakah laba yang akan mereka peroleh
dari nasabah, atau berpakah konpensasi yang harus mereka tanggung. Walaupun
mereka mampu memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada
para nasabah mereka dengan menggunakan metode penghitungan yang sangat teliti
dan dengan mempelajari keadaan-keadaan sosial nasabah mereka.
Sedangkan
apa yang telah dikatakan bahwa perusahaan asuransi berpegang pada
hitungan-hitungan yang sangat teliti yang dapat mencegah terjadinya relatifisme,
penipuan dan ketidakadilan. Hal ini tidaklah dapat menjadi alasan dalam
membolehkan praktek asuransi. Karena tercegahnya unsur penipuan untuk
perusahaan saja tidaklah cukup dalam mengeluarkan pengaruh unsur penipuan yang
sudah terlanjur ada didalam aqad asuransi. Untuk itu unsur penipuan juga harus
ditiadakan untuk nasabah. Karena Fiqih Islam tidak melihat pada keseluruhan
aqad-aqad yang diperindah oleh perusahaan asuransi, melainkan ia melihat pada
sah atau rusaknya suatu akad pada setiap akad secara terperinci.
Dan
pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada unsur penipuan dan ketidak pastian
bagi nasabah dalam asuransi. Dikarenakan didalam aqad asuransi rasa aman adalah
(Mahalul Aqad) hal yang diberikan oleh perusahaan kepada nasabah,
setelah si nasabah membayarkan prem yang diwajibkan oleh perusahaan, jadi perasaan
ini sudah didapatkan oleh nasabah ketika pembayaran pertamanya . Saya katakan
bahwa pendapat ini salah. Karena rasa aman adalah faktor utama terjadinya aqad asuransi, maka ia
bukanlah (Mahalul Aqad) pembayaran yang dijanjikan didalam aqad. Mahalul
Aqad adalah apa yang dibayarkan oleh kedua pihak, dalam hal ini adalah
nasabah dan perusahaan, atau apa yang dibayarkan oleh salah satu dari keduanya.
Kalaupun kita katakan bahwa rasa aman adalah Mahalul Aqad maka ini
sangat keliru, karena Mahalul Aqad adalah sesuatu yang mungkin bukan
sesuatu yang mustahil, sedangkan rasa aman adalah sesuatu yang mustahil bisa
dipastikan.
Dan
pembayaran pada transaksi komersial, seperti apa yang ditunjukkan oleh
hadist-hadist yang melarang jual-beli buah-buahan sampai kelihatan matang dan
aman dari kerusakan, haruslah mempunyai wujud dan bisa dimanfaatkan sesuai
dengan peruntukannya yang tertera didalam aqad atau sudah dipahami secara adat
ketika aqad sedang berlangsung. Apabila pada kenyataannya tidaklah seperti it u, seperti barang yang dijual tidak mempunyai wujud,
atau keberadaan barang tersebut masih berupa perkiraan pada masa yang akan
datang maka secara syari’at jual beli seperti ini hukumnya adalah haram. Dan
timbal-balik perusahaan asuransi kepada nasabah hanyalah berupa perkiraan.
Adapun
yang dapat membolehkan aqad yang terdapat unsur penipuan didalamnya, sedikit
atau banyak. Semisal ketika seseorang berada didalam suatu keadaan yang mana
jika ia tidak melakukan sesuatu yang dilarang, maka ia akan berada dalam
kesulitan, tetapi tidak sampai mengakibatkan kematian. Dalam keadaan ini
apabila ingin menggunakan aqad yang terdapat unsur penipuan didalamnya maka ia
harus melihat kepada syarat-syarat yang berlaku. Adapun syarat itu adalah :
1.
Keperluan
yang mendesak itu haruslah demi kemaslahatan manusia secara umum, atau
segolongan dari manusia, seperti penduduk suatu daerah secara keseluruhan.
2.
Diharuskan
untuk mencoba seluruh metode-metode yang sesuai dengan syari’at yang berkaitan
dengan keperluan tersebut terlebih dahulu sebelum menggunakan aqad yang
didalamnya terdapat unsur penipuan. Apabila didalam metode-metode tersebut
belumlah didapati sesuatu yang bisa menyelesaikan keperluan tersebut barulah
menggunakan aqad yang didalamnya terdapat unsur penipuan diperbolehkan.
Jika
kita terima bahwa masyarakat sekarang sangatlah membutuhkan asuransi demi
kemaslahatan mereka. Namun perlu diingat bahwa kita juga harus mencoba
metode-metode yang sesuai dengan syari’at terlebih dahulu, karena kemaslahatan
yang dituju oleh asuransi niaga juga sebenarnya dapat kita temukan didalam
asuransi takaful yang berlandaskan pada sosial dan menghapus mediator
ekploitasi keperluan manusia seperti perusahaan asuransi. Atas dasar inilah
maka asuransi niaga adalah termasuk jenis transaksi komersil yang mengandung
banyak unsur penipuan tanpa mencoba metode yang berlandaskan syari’at maka hal
ini dilarang.
Dan
jika kita terima bahwa dalam pelaksanaan asuransi niaga sebelumnya sudah
dilakukan tes terhadapa metode-metode lain yang sesuai dengan syari’at, namun
kesemuanya tidak dapat menyelesaikan masalah. Namun perlu diingat bahwa
pembolehan asuransi jenis ini ketika darurat hanyalah sebatas hal yang
diperlukan saja, tidak lebih. Sesuai dengan kaidah fiqhiah yang berbunyi :
الحاجة
تقدر بقدرها
Artinya
: Keperluan akan hal yang dilarang pada saat darurat hanya diperbolehkan
seukuran keperluan tersebut.
Diantara
sebab yang menunjukkan buruknya asuransi niaga adalah : Bahwa unsur penipuan
agar bisa mempengaruhi sah atau tidaknya suatu aqad disyaratkan bahwa unsur
penipuan itu terdapat pada sesuatu yang diaqad bukan sesuatu yang mengikutinya.
Dan unsur penipuan yang merusak aqad ini ada pada asuransi niaga.
Dan
dapat dipahami dari terdapatnya unsur penipuan didalam asuransi niaga adanya ketidak
jelasan pada prem dan konpensasi. Yang dimaksud ketidak jelasan disini adalah
ketidak jelasan banyaknya uang yang harus dibayar kedua belah pihak untuk yang
lainnya. Terkadang banyak dan terkadang sedikit. Bahkan apa yang dibayarkan
oleh perusahaan kepada nasabah berupa konpensasi sesuai dengan musibah yang
terjadi, entah itu kecelakaan biasa ataupun kematian. Dan bahaya-bahaya yang
meupakan pendorong terjadinya aqad bisa terjadi dan bisa pula tidak terjadi. Ini semua menjadikan ketidak
jelasan semakin nyata dan berakibat pada batalnya aqad.
Dan
aqad asuransi menjadi terlarang secara syari’at dikarenakan ia mengangdung
unsur penipuan dan ketidak jelasan. Bukan dikarenakan harga satu kali prem yang
jelas, melainkan jumlah keseluruhan premi yang harus dibayar oleh nasabah. Dan
kerelaan perusahaan dalam memberikan konpensasi kepada nasabah ketika kematian
atau terjadi musibah dalam jangka waktu tertentu yang telah disebutkan didalam
aqad tanpa melihat prem yang telah dibayar oleh nasabah, sedikit ataupun
banyak. Kerelaan perusahaan diatas sama sekali tidaklah berpengaruh pada boleh
atau tidak bolehnya asuransi niaga, karena ini merupakan kerelaan yang
berlawanan dengan asas-asas syari’at Islam dan nash-nashnya yang melarang akan
penipuan. Seperti kerelaan pemain judi dan kerelaan penzina ketika berzina
tidaklah bisa menghalalkan kedua perbuatan tersebut.
Dan
ketidaktahuan yang sangat jelas sangatlah berpengaruh pada sah atau tidaknya
suatu aqad walaupun ia tidak menghasilkan permusuhan diantara kedua belah
pihak. Adapun ketidaktahuan yang sangat kecil dan hampir tidak nampak maka ini
dimaafkan. Ketidaktahuan didalam asuransi sangatlah jelas, bahkan jauh lebih
jelas dari apa yang pernah digambarkan para ulama. Karena ketidaktahuan didalam
asuransi berpotensi menghasilkan permusuhan dan pembatalan kontrak antara kedua
belah pihak. Kita ambil misal berupa larangan jual-beli lobak dan wortel yang
masih berada didalam tanah dikarenakan kedua ada didalam tanah dan tidak
diketahui bentuk dan ukurannya secara pasti, dan ketidaktahuan inilah yang
membuat jual-beli keduanya diharamkan ketika masih didalam tanah. Sedangkan
didalam asuransi, konpensasi karena kecelakaan memiliki presentasi yang
relative sangat rendah, bisa terjadi atau tidak. Dan kerelatifitasan inilah
yang membuat aqad asuransi menurut syari’at menjadi sangat lemah.
Berdasrkan
semua alasan yang telah terurai diatas maka tidaklah halal bagi pembisnis dan
selainya yang terdaftar menjadi nasabah pada suatu perusahaan asuransi untuk
mengambil konpensasi dari uang asuransi. Karena konpensasi adalah harta yang
semestinya tidak harus diberikan kepada para nasabah, seperti yang dikatakan
oleh Ibnu Abidin. “ Dan pewajiban jaminan atas orang yang dipercayakan atas
sesuatu adalah salah seperti apa yang telah ditetapkan oleh ulama hanafiyah”
Kesimpulan
: Asuransi niaga mengandung lima sebab yang menjadikannya haram.
1.
Riba
: Konpensasi terkadang lebih banyak dari premi yang dibayar oleh nasabah,
tentunya ini termasuk kedalam riba. Perusahaan asuransi juga menginvestasikan
premi-premi yang dibayar oleh nasabah dilembaga-lembaga keuangan yang
menggunakan metode ribawi. Mereka juga mengambil bunga dari para nasabah yang
terlambat membayar premi.
2.
Penipuan
: Pembayaran asuransi dilakukan berdasarkan pada sesuatu yang belum pasti
terjadi. Dan terkadang perusahaan asuransi mempunyai hutang yang sangat besar
tanpa mendapatkan pembayaran didasarkan pada unsur penipuan.
3.
Ketidakadilan
: Asuransi mengandung unsur ketidakadilan dikarenakan ketidakjelasan Mahalul
Aqad. Sedangkan mengetahui bentuk pembayaran merupakan syarat sahnya suatu
aqad.
4.
Perjudian
: Asuransi mengandung unsur perjudian, karena bahaya yang merupakan faktor
terjadinya aqad tidak dapat diketahui waktu terjadinya, bahkan bisa jadi tidak
terjadi. Ini merupakan salah satu bentuk dari perjudian atau pengundian nasib.
Dan nasabah memberikan sedikit hartanya untuk dapat mengambil uang konpensasi
yang besar tatkala terjadi musibah.
5.
Ketidaktahuan
: Premi yang dibayarkan oleh nasabah tidak diketahui jumlah seluruhnya oleh
kedua belah pihak. Dan kedua belah pihak saling ber-mu’amalah dengan
ketentuan-ketentuan yang tertera didalam aqad tanpa mengetahui apa yang akan
dia dapatkan, keuntungan atau kerugian.
Reasuransi
Prinsip kerjasama pada asuransi dapat dicapai dengan pembagian
resiko kepada penanggung lainnya dengan memperhitungkan segala kemungkinan yang
dapat terjadi. Maka ketika jumlah nasabah pada suatu perusahaan asuransi sudah
sangat banyak maka pembagian resiko kepada penanggungnya juga semakin banyak. Jadi
ini adalah suatu proses pembagian resiko kepada penanggung lain. Pembagian
resiko ini mempunyai banyak metode, diantaranya adalah reasuransi. Dimana suatu
perusahaan asuransi mengasuransikan dirinya kepadda perusahaan yang lebih besar
dari apa yang akan menimpanya berupa kerugian dikarenakan konpensasi yang harus
dibayarkan kepada para nasabah.
Reasuransi secara syari’at mempunyai hukum yang sama dengan
asuransi biasa. Perusahaan asuransi yang berprinsip syari’ah boleh
mengasuransikan perusahaannya kepada perusahaan asuransi syari’ah lainya.
Sedangkan reasuransi niaga mempunyai hukum yang sama dengan asuransi niaga
biasa. Karena tidak ada perbedaan antara aqad asuransi biasa dengan aqad
reasuransi, kecuali hanya pada nasabah, nasabah pada asuransi biasa adalah
pribadi-pribadi sedangkan nasabah pada reasuransi adalah perusahaan asuransi.
Begitu juga dengan batasan-batasan unsur penipuan yang dapat
mempengaruhi aqad, yaitu seperti yang sudah disinggung sebelumnya seperti.
1.
Aqad
merupakan jenis transaksi komersial, bukan transaksi sosial.
2.
Unsur
penipuan haruslah sangat jelas
3.
Unsur
penipuan langsung terdapat pada pembayaran transaksi, apapun bentuk transaksi
tersebut. Bukan manfaat yang mengikuti setelah transaksi.
4.
Aqad
yang terdapat unsur penipuan didalamnya bukan aqad yang dibutuhkan oleh semua
golongan kaum muslimin atau segolongan dari kaum muslimin.
Batasan-batasan unsur penipuan yang dapat mempengaruhi aqad ini
sebagaimana berlaku pada asuransi niaga, juga berlaku pada reasuransi dan
berdampak tidak bolehnya praktek reasuransi yang tidak berlandaskan pada
prinsip takaful dan sosial atas perusahaan asuransi niaga secara syari’at.
Kecuali jika keperluan atas reasuransi seperti ini bersifat mendesak dan tidak
dapat dihindarkan dengan syarat telah berusaha mencoba metode-metode yang tidak
berlawanan dengan syari’at. Hal ini sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
Dewan Pengawas Syari’ah Faisal Islamic Bank di Sudan fatwa nomor 16 dan 17.
Tetapi apakah perusahaan-perusahaan asuransi takaful dan sosial akan menemui banyak
kendala apabila tidak berkerjasama dengan perusahaan reasuransi niaga ?
Dewan Pengawas Syari’ah Faisal Islamic Bank di Sudan menurut fatwa
nomor 16 dan 17 berpendapat pada bolehnya reasuransi niaga dikarenakan
keperluan yang mendesak dan untuk kemaslahatan umat Islam seperti apa yang
telah diperhitungkan oleh para ahli ilmu perbankan syari’ah dengan
syarat-syarat yang mereka namai Al-malhuzot wa At-tahafuzot. Adapun
syarat-syarat tersebut antara lain :
1.
Perusahaan
asuransi takaful tidak boleh membayar premi kepada perusahaan reasuransi niaga
kecuali sesedikit mungkin berkisar hanya untuk keperluan semata. Sesuai dengan
qoidah fikhiyah yang telah disinggung sebelumnya, yaitu :
الحاجة
تقدر بقدرها
Artinya
: Keperluan akan hal yang dilarang pada saat darurat hanya diperbolehkan seukuran keperluan tersebut.
Ukuran
premi yang harus dibayar tidak dijelaskan oleh para ahli.
2.
Perusahaan
asuransi takaful tidak boleh mengambil komisi apapun dari perusahaan reasuransi
niaga.
3.
Perusahaan
asuransi takaful tidak mensetujui penjagaan perusahaan reasuransi kovensional untuk
menjaganya dari kerugian-kerugian yang akan terjadi pada masa yang akan datang
sebagai bentuk kewapasdaan perusahaan.
Hal ini dikarenakan penjagaan akan
berdampak pada pembayaran bunga untuk perusahaan reasuransi.
4.
Perusahaan
asuransi takaful tidak boleh mengikuti
investasi perusahaan reasuransi dengan menggunakan premi yang dibayarkan
perusahaan asuransi takaful kepada perusahaan reasuransi. Perusahaan asuransi
takaful juga tidak boleh meminta bagiannya dari uang investasi dan tidak boleh
bertanya akan kerugian yang akan menimpanya.
5.
Kontrak
dengan perusahaan reasuransi haruslah dilakukan dengan jangka waktu
sependek-pendeknya.
6.
Perusahaan
asuransi takaful haruslah berusaha membangun perusahaan reasuransi yang
berbasis syari’ah agar pada masa yang akan datang ia dapat terbebas dari
perusahaan reasuransi konvensional.
Inilah pendapat yang aku utarakan. Dan sampai sekarang aku masihlah
merasa pendapat orang-orang yang mengatakan masyru’nya asuransi niaga
sangat aneh dan buruk sekali. Aku merasa tidak perlu mengutarakan dalil-dalil
mereka, karena sudah banyak sekali bantahan-bantahan atas mereka
dimajalah-majalah, artikel-artikel, makalah-makalah dan konfrensi-konfrensi. Mulai
dari pekan Fikih Islam di Damaskus pada tanggal 1-6 April 1961 M dan berakhir
dengan ketetapan dari Islamic Fiqh Academy pada seminar pertamanya yang
dilaksanakan pada bulan sya’ban 1398 H
di Makkah Al-Mukarramah dilaksanakan dimarkas Muslim World League (MWL).
Siapapun yang ingin memastikan keharaman asuransi niaga dan kebatilan pendapat
yang membolehkannya silakan ia merujuk kepada makalah-makalah Pekan Fikih Islam
di Damaskus dan kepada ketetapan Islamic Fiqh Academy. Semoga Allah selalu
menuntun kita menuju jalan yang benar.
Sedangkan hukum asuransi-asuransi yang bersifat sosial yang dibayar
oleh pemerintah atau dana pensiun dan jaminan usia tua, atau jaminan tenaga
kerja disuatu Negara semuanya menurut perkiraan saya adalah boleh. Karena
Negara mempunyai kewajiban dalam mengayomi semua golongan dari rakyatnya ketika
mereka dalam keadaan lemah, sakit, lansia atau semisalnya ketika mereka tidak
mampu untuk bekerja dan mencari nafkah. Hal seperti ini tidak boleh dilihat
dari pajak yang diwajibkan Negara dari gajih bulanan, atau yang dibayarkan oleh
para pemilik usaha pada setiap bulan untuk kemaslahatan jaminan sosial
masyarakat, atau uang yang dibayarkan oleh pegawai atau pekerja dengan
keinginan mereka sendiri pada setiap tahun agar mendapatkan konpensasi ketika
pensiun dari pekerjaan. Semua premi yang dibayarkan ini tidak dapat
dikatagorikan sebagai riba, walaupun para pekerja yang pensiun mendapatkan
konpensasi lebih besar dari premi yang ia bayarkan, karena premi yang
dibayarkan sebenarnya adalah donasi atau pemberian suka-rela dengan tujuan agar
dapat saling memberikan pertolongan diantara para nasabah yang dikumpulkan
didalam asuransi-asuransi sosial pemerintah.
No comments:
Post a Comment