Pada
jaman dahulu Indonesia merupakan wilayah kepulauan yang tak beragama,
penduduk lokal bangsa ini kebanyakan menganut suatu kepercayaan
animisme, yang mendewakan elemen-elemen yang terdapat dibumi dan elemen
yang dapat dilihat dilangit. Sampai suatu ketika daerah pesisir
nusantara menjadi jalur emas perdagangan internasional yang sangat
stretegis dan menguntungkan bagi bangsa asing dan pribumi,
bermacam-macam bangsa yang datang untuk berdagang dan menetap di daerah
pesisir, yang lambat laun komonitas-komunitas pedagang ini akhirnya
menyebar dan berbaur dengan penduduk lokal pribumi, karena berbaurnya
komunitas-komunitas pedagang dengan warga setempat maka menyebar juga
lah kebudayaan, agama, dan tutur prilaku bangsa asing diwilayah
nusantara, serta terjadi juga lah asimilasi kebudayaan lokal dan asing
sehingga menghasilkan suatu kebudayaan baru yang lebih baik dari
sebelumnya.
Seperti yang kita ketahui agama islam juga masuk ke nusantara juga karena proses diatas, sehingga memungkinkan asimilasi kebudayaan antara empat formula kebudayaan besar dunia kedalam tubuh Islam sehingga menghasilkan Islam yang bercorak abangan yang masih dapat kita lihat di masyarakat kita sekarang.
Seperti yang kita ketahui agama islam juga masuk ke nusantara juga karena proses diatas, sehingga memungkinkan asimilasi kebudayaan antara empat formula kebudayaan besar dunia kedalam tubuh Islam sehingga menghasilkan Islam yang bercorak abangan yang masih dapat kita lihat di masyarakat kita sekarang.
Jimat-jimat
yang kita kenal sekarang ini, merupakan suatu bagian dari asimilasi
budaya antara kebudayaan animisme lokal dan Islam, namun proses
asimilasi diatas itu bersifat sangat dipaksakan oleh beberapa kalangan, itu
dikarenakan Islam sendiri menolak dengan tegas apapun yang disebut
dengan jimat, hal ini secara tegas di katakan oleh Nabi Muhammad SAW:
عن ابن مسعود رضى الله عنه قالِ:سمعت رسول الله قال: انَّ الرُّقَى وَالتَّماَئِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
Artinya:
“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik.”
(HR. Al-Imam Ahmah, Abu Dawud, Al-Hakim, Ath-Thabrani , dan Al-Baihaqi
di dalam.)
Namun ternyata
banyak sekali orang yang beragumen sebaliknya dari hadist Rasulullah
diatas, mereka bukan bermaksud untuk mengingkarinya, tetapi mereka berusaha mengambil kesimpulan dengan cara menarik illah pengharaman jimat tersebut, beginilah kurang lebih apa yang mereka pikirkan. “Mengapa
Rasulullah mengharamkan jimat”?, Rasulullah mengharamkan jimat karena
ditakutkan jimat itu akan menglengserkan keyakinan murni bahwa Allah merupakan penguasa tunggal di alam semesta". Jadi menurut mereka
seandainya jimat tidak menglenserkan keyakinan maka hilang juga lah
keharamannya, singkat kata jika kita menganggap kalau
jimat itu hanyalah sebab dari keamanan yang kita peroleh karena
memakainya maka tidak mengapalah kita untuk menggunakannya.
Akan
tetapi, semua hal yang dilakukan diatas dianggap sebagai
bentuk kebodohan yang dihias-hias dengan dalil-dalil kosong, sangat
praktis dan tidak berdasar. Itu dikarenakan menyimpulkan suatu hal itu merupakan sebab atau tidak terdapat dua cara
benar yang telah digariskan oleh para ulama:
Pertama:
Sesuatu yang dapat dikatakan sebab adalah benda yang sudah
disyari’atkan oleh Allah, didalam Al-qur’an ataupun dikalam Nabi
Muhammad SAW, sebegai contohnya adalah hadist rasul tentang habbatus
sauda, bekam, dll
Kedua:
Sesuatu yang dapat saja kita katakan mengandung sebab tanpa perlu
merujuk kepada cara yang pertama ialah sesuatu yang sudah benar dan
nyata manfaat dan mudharatnya bagi kita dan dapat kita rasakan secara
langsung efek dari benda tersebut, misalnya: manfaat helm bagi
pengendara bermotor, atau manfaat sabuk bagi pengendara mobil.
Setelah
kita lihat, ternyata menganggap jimat sebagai sebab sangat bertolak-belakang dengan dua kesimpulan para ulama diatas, karena ia sudah dengan nyata ditentang oleh Al-qur’an dan
As-sunnah dan lagi manfaatnya yang tidak begitu nyata bagi kehidupan
manusia. Jadi sudah tidak ada alasan lagi bagi orang yang menghalalkan
jimat untuk tetap berdiri disana. Dan dalam hal ini Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin rahimahullah berkata: Manusia dalam permasalahan sebab
terbagi menjadi tiga kelompok, dua berada di ujung dan satu di tengah
Pertama:
segolongan orang mengingkari sebab-sebab, mereka adalah golongan yang
menafikan hikmah-hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti golongan
Jabariyah dan Qadariyah.
Kedua:
segolongan orang melampaui batas dalam menetapkan sebab sehingga mereka
menjadikan sesuatu yang tidak disyariatkan sebagai sebab, seperti yang
dilakukan mayoritas ahli khurafat dari kalangan sufi dan selain mereka.
Ketiga:
orang yang mengimani adanya sebab dan segala pengaruhnya akan tetapi
mereka tidak menetapkan sesuatu sebagai sebab kecuali bila telah
ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, baik secara
syar’i atau takdir (inilah golongan yang benar, pen.).” (Lihat Al-Qaul
Al-Mufid syarah Kitab Tauhid 1/205). Jadi keharaman jimat bukanlah suatu
stetment yang perlu dipertanyakan lagi, karena sudah nyata dan sudah
pasti keharaman dan kejelekan manfaatnya.
Namun
seringkali kita dibuat bingung dan berfikir keras dengan jimat yang
didalamnya terdapat ayat-ayat Al-Qur’an dan asma-asma Allah karena
didalam Alqur’an sendiri Allah mengatakan:
Dan
Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian (Al-Isra Ayat 82)
Setelah
kita pikirkan secara matang, ternyata ayat-ayat Allah yang dituliskan diatas jimat samasekali tidak mempunyai hubungan dengan fungsi jimat itu sendiri,
baik dalam segi lugah, tafsir ataupun asbabun nuzulnya. Misalkan ayat yang berbicara masalah ketakwaanan dituliskan diatas jimat dan digantungkan dipintu toko dengan maksud agar dagangannya laris dan cepat habis, semakin nampak sajalah kebodohan kita apabila melakukan hal itu. Apalagi mengingat tujuan asli dari pada Al-qur’an sendiri adalah untuk
dibaca, dipahami dan dijadikan pedomanan hidup. Bukan untuk dipajang apalagi untuk dijadikan jimat. Al-qur’an
akan mempunyai efek yang sangat besar ketika ia dilafalkan dengan
penghayatan yang dalam, dengan kita lafalkan dan kita hayati maka
Al-qur’an akan menjadi penawar yang dapat menyembuhkan penyakit-penyakit
kronis jiwa dan raga yang sedang kita derita.
Namun
secara pasti banyak ulama yang mengharamkan pemakaian jimat yang
bertuliskan ayat-ayat Allah, diantaranya adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu
‘Abbas, Hudzaifah, ‘Uqbah ibn ‘Amir, Ibnu ‘Akim dan sejumlah dari para
tabi’in dan juga sejumlah ulama muta’akhirin . Mereka berdalih bahwa
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud diatas adalah Hadist yang umum
dan tidak terdapat pengkhususan bentuk jimat seperti apa yang
dibolehkan, apakah jimat yang dibolehkan itu adalah jimat yang
bertuliskan asma Allah atau jimat yang bertuliskan ayat-ayat Allah, hal
ini samasekali tidak disebutkan didalam hadist Ibnu Mas’ud tersebut,
bahkan juga tidak terdapat nash yang dapat mentakhsis hadist diatas.
Sementara,
ada juga ulama yang mentarjih pendapat kebanyakan ulama diatas, dengan
mengemukakan arguman yang cukup kuat, Asy-Syaikh Shalih Fauzan
mengatakan bahwa ada tiga alasan mengapa diharamkannya jimat-jimat yang
bertuliskan asma-asma Allah atau yang bertuliskan Ayat-ayat Allah,
ketiga hal yang beliau maksud itu adalah sebagai berikut.:
Pertama: Keumuman larangan dan tidak ada dalil-dalil yang mengkhususkannya.
Kedua: Menutup jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada (perbuatan) menggantungkan selain Al Qur‘an atau nama-nama Allah.
Ketiga:
Akan terjatuh pada penghinaan terhadap Al Qur`an dan nama-nama Allah
tersebut karena akan dibawa ke tempat najis atau dipakai untuk mencuri,
merampok, dan berkelahi.
Selain
itu, banyak juga alim ulama jaman sekarang yang memperkuat pendapat
diatas diantara mereka adalah: Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya Taisir Al-’Aziz
Al-Hamid, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh dalam kitabnya
Fathul Majid, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, dan
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahumullah.
Dengan
begitu sudah tidak adalagi alasan kuat untuk menghalalkan jimat sebagai
salah satu dari bentuk ikhtiar kita. Hanya untuk diketahui bahwa jimat
juga bukan termasuk dari bentuk ikhtiar yang selalu kita elu-elukan
sebagi alasan nomer satu untuk menghalalkannya, karena ketika kita
menggunakannya sebenarnya kita telah bergantung dan berharap sepenuhnya
kepada benda itu. Jadi, posisi jimat dihati kita pada saat itu sudah
seperti posisi Tuhan, tempat kita berharap dan menggadu..
.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang besar.(An-Nisa Ayat 48)
waallahu 'alam
No comments:
Post a Comment